BETAPAPUN keyakinan Ibu telah kubantah berkali-kali, tetapi ia masih terus ngotot jika sewaktu-waktu, akan muncul sebuah lorong cahaya yang berpangkal di beranda rumah panggung kami, yang akan membelah perut bukit nun jauh di sana, lalu terus memanjang, berkelok, lurus, meninggi, menembus awan, kemudian bermuara di atas langit!
Awalnya, keyakinan Ibu tentang lorong cahaya itu hanya kuanggap sebagai dongeng semata, tanpa berusaha untuk menanggapinya. Tetapi, lambat-laun, aku mulai merasa terganggu, karena Ibu hanya mempunyai sebuah bualan yang terus-menerus diulangi dari waktu kewaktu, dari hari kehari, hingga usiaku genap tujuh belas tahun. Bayangkan! Bagaimana menderitanya mendengarkan sebuah bualan yang tidak masuk akal, yang tidak pernah berubah- selalu saja tentang lorong cahaya- mulai ketika aku masih sering mengisap puting susu Ibu sampai sekarang diusiaku yang sudah tujuh belas tahun ini.
Bahkan, akhir-akhir ini, Ibu semakin menjadi-jadi dengan bualannya yang tidak masuk akal itu. Semua kematian di kampung kami, selalu dikaitkan dengan lorong cahaya. Seperti dengan kematian Haji Zakariah dua minggu lalu, Ibu mengaku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana lorong cahaya itu tiba-tiba muncul di atas nisan Haji Zakariah, ketika para pengantar jenazah baru saja pulang beberapa langkah, dan perlahan-lahan jazad Haji Zakariah bangkit dari kubur, menerobos gundukan tanah perkuburan, lalu memasuki lorong cahaya yang membentang dari atas kuburan, menembus bukit, lurus, bekelok, menukik turun, meninggi, membelah pelangi, lalu hilang di balik gumpalan awan.
Bahkan, yang lebih parah, menurut Ibu, pangkal lorong itu sewaktu-waktu bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan bisa berganti warna. Ke trotoar, ke pemukiman kumuh, ke tangsi pengungsian, ke jalan raya, ke bangsal rumah sakit, ke palang jembatan, ke atap gedung, ke kamar-kamar rumah, ke penthouse, dan ke mana saja. Kadang warnanya merah meyala seperti lidah-lidah api, kadang kuning keemasan seperti sapuan senja, kadang putih bersih, kadang pucat seperti kabut, kadang abu-abu, kadang hitam, bahkan kadang hitam yang teramat hitam. Pekat.
“Bahkan Ibu pernah lihat lorong itu di dalam layar kaca, Dullah!,” Ibu mulai membual sambil menenun lipa’sabbe[1] di teras rumah panggung kami, “ Ketika usiamu masih empat tahun, lorong cahaya itu muncul di layar kaca tepat ketika stasiun TV menyiarkan Tragedi Trisakti. Ibu menyaksikan sendiri, lorong cahaya itu menukik turun ke atap kampus, lalu pangkalnya bercabang-cabang! Mula-mula, lorong cahaya itu berwarna perak, tetapi perlahan-lahan menjadi kelabu, hitam, dan…”
“Sudah…Sudah Ibu! Hentikan omong kosong itu,” aku memenggal kalimat Ibu, dan anehnya, justru ibulah yang menatapku heran sambil geleng-geleng kepala, “ proses pembentukan lorong itu butuh waktu, baik secara mekanis maupun secara kimiawai. Tidak serta merta muncul, apalagi sampai berpangkal di halaman kampus, lalu bermuara di langit. Pembentukan lorong itu perlu kegiatan magmatis di daerah gunung merapi, atau butuh bantuan komposisi dominan Kalsium Karbonat untuk menghancurkan batu-batu gamping atau karst. Larutan jenuh kalsium, di tempat yang tidak terpengaruh oleh tenaga mekanis, akan diendapkan dalam bentuk kristalin, antara lain berupa stalagtit dan stalagmit, yang tersusun dari mineral kalsit, dan variasi-variasi ornamen lorong! Jadi berhentilah mendongeng, karena Dulla sudah besar! Ja…”
“Tetapi ini lorong cahaya, Dullah!,” kali ini, Ibu yang memenggal penuturanku yang panjang lebar,“ ini lorong cahaya yang tidak semua orang bisa menyaksikannya, Dulla!. Bukan lorong sembarangan seperti yang kau maksud itu!.”
“Itu bukan lorong cahaya, Bu! Tetapi lorong dongeng yang akan menuntun kita menuju puncak khayalan yang tiada berguna itu! sudahlah, berhentilah membual!”.
“Itu bukan lorong cahaya, Bu! Tetapi lorong dongeng yang akan menuntun kita menuju puncak khayalan yang tiada berguna itu! sudahlah, berhentilah membual!”.
“Suatu hari, kau akan melihatnya sendiri, Dulla…!”
***
Ketenanganku sudah berangsur-angsur pulih, seiring dengan kebiasaan Ibu membahas lorong cahaya tidak pernah terdengar lagi. Tetapi, tidak sampai seminggu, penyakit membual Ibu kembali kambuh. Lagi-lagi tentang lorong cahaya. Diawali ketika beberapa orang ibu-ibu tetangga datang membantu Ibu menenun lipa’ sabbe, karena pesanannya semakin banyak dari pasar desa.
Di sela-sela memasak, memberi pewarna atau memintal benang sutra, Ibu tiada lelah membual tentang lorong cahaya kepada para tetangga yang ikut membantunya. Bayangkan! Ibu dan para tetangga itu biasanya menenun dari pagi hingga sore, dan cerita Ibu tidak pernah jauh sekitar lorong cahaya.
Aku kadang-kadang harus menutup telinga dengan bantal di dalam kamar, untuk menghindari celoteh Ibu yang sambung-menyambung, kadang terdengar lirih, sayup-sayup, datar, melengking, menggelegar, memantul-mantul pada dinding rumah, menyusup ke dalam kamar, lalu menusuk-nusuk gendang telingaku serupa ribuan jarum yang dimuntahkan dari langit-langit kamar.
“Lorong cahaya itu akan berpangkal di rumah kalian sewaktu-waktu, tanpa kalian duga sebelumnya. Kalian ingat Narti? Anak kepala dusun yang dikabarkan hilang saat mengumpulkan kayu bakar di dalam hutan? Narti tidak hilang. Narti tidak hilang. Narti hanya sedang menelusuri lorong cahaya yang tiba-tiba muncul di tengah hutan sehabis gerimis sore itu. Aku sendiri yang melihatnya, Bu Retno, Bu Lita, Narti merangkak-rangkak memasuki lorong cahaya itu, dengan senyum sumringah dan rona kepuasan di wajahnya berpendar-pendar tersapu cahaya dari dinding-dinding lorong yang kuning keemasan. Tubuh Narti seperti dibaluti lelehan senja!”.
“Apakah Narti akan mati di dalam lorong itu, Bu Lela? Apakah Narti tidak akan kembali lagi?!” Tanya Bu Retno antusias dan mulai termakan bualan Ibu.
“Tidak. Tidak. Siapapun yang masuk di lorong itu tidak akan mati, tetapi mereka tidak akan pernah kembali. Tidak akan…”
“Lalu kenapa seseorang, atau Narti misalnya mau menelusuri lorong cahaya itu? apakah kami bisa menolak menelusuri lorong cahaya itu jika sewaktu-waktu muncul di ranjang kami, Bu Leha?!.”
Sambung Bu Lita tampak penasaran dan para ibu-ibu yang membantu Ibu menenun lipa’ sabbe di beranda, sudah benar-benar termakan bualan Ibu. Saya mengintip dari sela kaca nako di dalam kamar yang hanya dibatasi dinding papan dengan beranda, mau tidak mau ikut mendengarkan bualan Ibu dengan emosi yang meluap-luap. Ingin rasanya aku menghambur keluar menghentikan bualan itu, tetapi aku menjaga perasaan dan wibawa Ibu di depan para penikmat ceritanya. Perlahan-lahan raut muka Ibu tampak berubah, sambil menggeleng ke arah Bu Lita.
“Tidak seorangpun yang bisa menghindar dari penelusuran lorong cahaya itu, ibu-ibu. Pangkal lorong cahaya itu begitu memukau, melebihi indahnya sapuan senja di atas permukaan laut, melebihi gemerlap lampu-lampu kota seperti yang sering kita tonton di layar kaca. Ada serupa magnet yang menarik kita, atau lebih tepatnya, mulut lorong itu terasa mengisap tubuh kita, dan tidak ada jalan sama sekali untuk menghindar!” terang Ibu panjang lebar, dan kali ini aku sudah benar-benar muak dengan bualan Ibu. Aku bangkit dan bergegas menuju ke luar, menuruni anak tangga lalu pergi meninggalkan rumah.
***
Setahun kemudian, aku meninggalkan Ibu di kampung menuju ke kota untuk melanjutkan kuliah. Walaupun Ibu sering kali menjengkelkan dengan bualannya mengenai lorong cahaya, tetap saja aku merasa sedih harus berpisah dengannya. Aku harus berpisah dengan perempuan tangguh yang tiada lelah bekerja, baik sebagai penenun lipa’ sabbe maupun sebagai penjual ikan asin di pasar desa, demi untuk membesarkan dan menyekolahkanku.
Bahkan, Ibulah yang mendesak aku untuk tetap lanjut ke perguruan tinggi, walaupun sebelumnya aku sempat berpikir untuk tetap tinggal di kampung, menjadi buruh di penggilingan padi Haji Yunus, atau ikut bergabung dengan warga kampung sebagai pengangkut pasir di bantalan sungai kalumareng[2]. Ada perasaan tidak tega melihat Ibu banting tulang setiap hari, demi untuk menyekolahkanku. Tetapi, Ibu begitu berkeras, dan berhasil meyakinkan aku jika Ibu akan sanggup membiayai segala macam ongkos selama aku kuliah nantinya.
“Rubahlah nasibmu, Dulla! Sekolahlah tinggi-tinggi, dan buatlah Ibu bangga. Ibu masih kuat bekerja untuk terus membiayaimu!”.
***
Sejak kepindahanku ke kota, aku sangat jarang berhubungan dengan Ibu. Paling-paling, hanya sebulan sekali itupun jika aku butuh uang kuliah atau persediaan beras di pondokan sudah menipis. Biasanya, aku menitip pesan lewat sopir mobil panther di terminal Mallengkeri[3], satu-satunya mobil yang trayeknya Makassar-Bontorihu.
Jika pesananku lebih banyak lagi, mulai dari uang, ikan kering, mie instan, sambal terasi sampai singkong, takut sopir panther itu lupa, atau rasa rinduku dengan Ibu kian menggebu-gebu, aku biasanya bersurat, walaupun Ibu hanya bisa menjadi pendengar setiap kali suratku dibacakan oleh para tetangga di kampung. Hingga suatu hari, ketika aku menjemput kiriman di terminal, sopir panther itu mengabarkan jika Ibu sedang sakit.
“Ibumu sedang sakit, Dulla! Tetapi pesannya, kau tidak usah pulang karena sakit ibumu tidaklah terlalu parah. Hanya sedikit pusing dan flu. Ibumu hanya minta didoakan agar lekas sembuh!”.
“Baiklah, Pak Rukka! Kalau ada apa-apa, tolong suruh siapa saja mengabari saya lewat telpon ke pondokan! Nomor telepon pondokan sudah aku titip sama Ibu”.
***
Dalam tidur, Ibu mendatangiku. Dalam tidur, Ibu tersenyum manis kepadaku. Dalam tidur, Ibu meraih tanganku, lalu menunjukkan sesuatu. Dalam tidur, aku saksikan seberkas cahaya yang semakin lama semakin mendekat, muaranya tak berujung, menembus bebukitan, semakin mendekat, menukik turun menyusur hamparan rumput dan ilalang yang seketika merunduk layu, kembali meninggi, berkelok melekuki pepohonan, semakin terang, sangat terang, silau, silau, silau, melambat, sangat lambat, pelan-pelan merayapi anak tangga, dan akhirnya sebuah lorong cahaya menganga di beranda tempat yang biasanya diduduki Ibu ketika sedang menenun lipa’ sabbe.
Perlahan Ibu melepaskan genggamannya, mengusap rambutku, dengan senyum yang amat anggun dan sorot mata yang berbinar seolah ingin secepatnya memasuki lorong cahaya itu.
“Sekarang, kau lihat sendiri, Dulla! Ibu tidak pernah salah, dan Ibu yakin lorong itu lebih hebat dari seribu-satu macam lorong yang selalu kau paparkan kepada Ibu. Ini tidak perlu unsur mekanis atau kimiawi, dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk terbentuk!”.
***
Aku sontak terbangun dan mimpi aneh itu seketika terpenggal. Sebuah ketukan keras di daun pintu telah merusak pertemuanku dengan Ibu di depan lorong cahaya.
“Ada telepon dari kampung, Dulla…!”.
Aku bergegas ke lantai dasar. Tubuhku menggigil entah kenapa. Mungkin udara terlampau binal malam ini, dan berhasil menelanjangi tubuhku di atas hamparan kasur.
Gagang telepon jatuh, terburai di atas lantai. Tubuhku ikut ambruk mencium lantai. Ada yang diam-diam pergi.***
[1] pembuat sarung sutra
(Jakarta-Jayapura, Oktober 2011)