Rabu, 01 Februari 2012

Sepotong Bibir yang Tak Habis Dipatuk Ular

SIANG itu, aku mengutak-atik buku di kedai baca Sipakainga[1]. Sudah hampir satu jam aku mengitari rak buku yang memanjang dan memuat ratusan bahkan ribuan judul buku, tetapi aku belum juga memilih buku yang mana yang hendak aku baca dengan serius apalagi sampai tuntas. Sudah puluhan judul buku yang sudah kubolak balik, tetapi tak satu judulpun yang membuatku tertarik. 

Aku kembali menyambar buku bersampul cokelat muda. Di sampul depan buku itu, untaian katanya sedikit menggoda hatiku. INTERNATIONAL BEST SELLER. Nizami Ganjavi. LAYLA MAJNUN. Roman Cinta Paling Populer & Abadi. Ah, rupanya buku ini hanya cocok untuk anak remaja yang sedang patah hati atau sedang kasmaran. Dengan malas, aku terus membuka setiap halaman buku itu, sampai akhirnya tanganku berhenti di halaman 121:

...Cintaku kepada layla laksana air yang jernih dan bersih. Namun apalah arti air yang jernih jika tidak mampu menghilangkan dahaga?...  

Tanganku perlahan  menutup buku itu. Bukannya tidak menarik, tetapi masa mudaku telah lewat digilas usia. Rasanya, tidak ada lagi gunanya untuk membaca buku-buku yang dilumuri kata-kata menghanyutkan seperti itu. Masa muda benar-benar telah lewat, dan aku tidak ingin mengingat kenangan-kenangan masa silam dengan membaca untaian kata yang memabukan. Aku  sudah tua-walaupun belum tua-tua amat- dan aku tidak suka mabuk!  

Dengan perasaan dongkol, aku terus mengamati satu per satu judul-judul buku yang berjejer rapi. Sekedar  membaca sampul depannya, lantas kembali berlalu. Andrea Hirata, Sang Pemimpi. J.K.Rowling, Harry Potter and The Deathly. Andika Mappasomba, Mawar & Penjara. Moammar Emka, Karnaval Malam, Jakarta Under Cover 2. Karl May, Si Pemaki Tuhan. Dan Browd, Angels and Demons. B.J.Habibie, Detik-Detik yang Menentukan. Soe Hok Gie, Lentera Merah. Dan...

Tanganku berhenti pada buku tua yang sudah kusam. Sampul dan pinggirnya sudah koyak-moyak dan berlubang termakan rayap. Aku membetulkan letak kacamata. Samar-samar,  aku masih bisa membaca judul  buku yang sudah kabur itu-atau memang mataku yang sudah sedemikian rabun?- : Sepotong Bibir Seksi yang Tak Habis Dipatuk Ular, tanpa nama penulis. 

Ada serupa kekuatan magis yang memaksa tanganku untuk meraih buku itu. Padahal, aku yakin seyakin-yakinnya jika isi buku itu tidak jauh berbeda dengan isi buku yang aku telah baca sebelumnya. Aku kemudian membawa buku itu ke kursi kayu di tengah ruangan, lalu membuka halamannya lembar per lembar di tengah riuh celoteh pengunjung kedai baca lainnya. Ada yang asyik membahas kinerja pemerintah, ada yang serius membaca buku kamasutra, bahkan, di pojok ruangan, seorang lelaki seusiaku tampak malu-malu kucing menatap foto-foto telanjang majalah Play Boy, ada yang berdebat tentang kinerja menteri, sedangkan di dekat pintu masuk,  beberapa pasang lelaki sedang berhadap-hadapan tegang sambil menatap bidak-bidak catur. Sesekali mereka terbahak-bakak dan saling meledek setiap lawannya salah langkah.

***

Di temani segelas kopi pahit dan beberapa potong lumpia, sekali lagi aku membetulkan letak kacamata ketika sudah memasuki bab pertama. Dengan seksama, aku mulai membaca cerita tua itu, cerita tua serupa catatan-catatan penting, cerita tua tanpa nama penulis. Inilah buku pertama yang aku baca sepanjang usiaku, yang nama penulisnya tidak dicantumkan di sampul buku. Betul-betul unik dan  membuat selera baca saya seketika meningkat sekian digit.

Kamar kita yang basah, Jakarta, 14 Mei 1998
Aku baru saja membanting dan merobek-robek koran pagi setelah membaca berita empat teman mahasiswa yang tertembak dan terbunuh dalam tragedi Trisakti. Tiba-tiba, kau datang menembus gerimis pagi itu. Ada kesedihan yang kutangkap dari raut wajahmu yang ditudungi mendung. Matamu yang tersapu kabut, tertunduk kaku menatap sobekan koran yang terburai di atas lantai.
“Ibu telah diperkosa...”
Aku terloncat dari kursi. Kabut semakin purba pada matamu, menyemburkan gerimis yang patah-patah.
“Diperkosa, Huifang?”
“Juga dirampok…”
“Dirampok?”
“Mobilnya dibakar, lalu…”
“Lalu apa Huyfang?!”
“Ibu ikut dibakar…ibu sudah mati…”
“Bangsat…!”
Kau menubruk tubuhku yang diam membisu. Di sana,  kau sesunggukan menanak air mata tanpa kata tanpa bicara. Hanya suara seperti mandau yang berdesau menebas ruang hampa. Kau abadi dalam kesedihanmu, setelah kau tak bisa menggenggam secuil daging gosongpun dari mayat ibumu. Kau…

***

Ada perasaan aneh yang menyeruak laju di dalam hati setelah membaca beberapa paragraf buku tua itu. Ada perasaan sedih, benci, marah, menyesal, kecewa yang bercampur dan terasa diaduk-aduk oleh kaki-kaki lipan di dalam dadaku. Untuk kesekian kalinya, aku kembali membetulkan letak kacamataku, dan tentunya tak lupa menyeruput kopi pahit yang sudah terlampau dingin.

Ah, begini rupanya pengarang! Mereka begitu lihai memainkan kata, sampai-sampai aku terbuai dan ingin kembali melanjutkan membaca cerita omong kosong itu. Padahal, dari semua judul buku yang saya baca hari itu, ujung-ujungnya pasti sama saja. Pertemuan, hujan, senja, dermaga, cinta, basah, pisah, mati,  dan seterusnya dan selanjutnya. Tetapi, walaupun temanya hampir sama dengan buku-buku yang lain, sekali lagi, buku yang sedang aku baca seolah memiliki kekuatan magis yang memaksaku untuk tetap mengikuti bualannya. 

Asmara kita yang rabun, Jakarta 15 Mei 1998
Sejak kematian nyonya Hualing, kau menjadi asap hitam karatan yang patah-patah oleh tangan-tangan angin, tak mampu melukis sesuatupun di cakrawala. Dan aku, menjadi pokok-pokok kayu tembesu yang lapuk, pasrah menerima hunjaman batu-batu hitam yang meracau-payau dari kedalaman matamu. 
Di dasar wajahmu, aku mampus berkali-kali, disumpahi luka membusuk, tak kuasa membawamu menunggangi angin melewati sepanjang sedih dan pahit musim. Betapa cinta hanya bisa bungkam hari itu, di bawah amuk amarah nurani anjing-anjing bersayap.
Nurani mati...
Nurani mati...
Dan aku tak henti mematuk diri di depan cermin retak, sementara diluar lolongan anjing dan suara harimau menerkam kota semakin menjadi-jadi. Aku tak kuasa mendengar lolongan anjing itu. Aku tak kuasa mendengar auman harimau itu. Aku menutup jendela, tirai, mata, kuping, lalu meringkuk di kolong ranjang, tetapi suara-suara itu semakin mendekat dan menyusup di sela-sela jendela. Aku bangkit, aku berlari, aku berteriak, aku membenturkan kepalaku ke dalam kaca. Ia terburai, aku terkulai...

***

Aku menarik nafas panjang. Tiba-tiba kurasakan ada gemuruh yang memburu di dalam dadaku. Dasar penulis sialan, seharusnya ia tidak merusak suasana hatiku. Aku telah berjanji untuk mengubur dalam-dalam masa laluku, tetapi buku itu serupa pecahan-pecahan kaca yang jatuh ke dalam gelas kopiku. Aku meletakkan buku itu. Aku ingin menyudahi membacanya, tetapi tanganku serupa besi-besi tua dan setiap huruf yang tertera di buku itu adalah gerombolan magnet yang tiada henti menarik tanganku. Perlahan-lahan, aku kembali membuka dan melanjutkan bacaanku. Sementara kedai baca sudah sedemikian disesaki pengunjung. Sementara gerah semakin terasa. Sementara hatiku sebentar lagi binasa?.

Ternyata kita mati muda, Huyfang, Jakarta 18 Mei 1998...
Aku mendengar jeritan dari kerak kubur sore itu. Jeritan yang perlahan menghilang, berganti tawa segerombolan belatung yang membakar langit-langit. Aku menerobos sore yang dilumuri kabut. Aku berlari serupa anak-anak kijang di padang luas yang sedang dikejar hantu-hantu bersayap seribu.
Aku menuju rumahmu, Huyfan! Aku memasuki halaman rumahmu, Huyfan. Aku mengetuk pintu rumahmu, Huyfan. Aku menapaki setiap inci lantai rumahmu, Huyfan. Aku menapaki tiap anak tangga rumahmu menuju lantai dua, Huyfan. Aku mengetuk pintu kamar tidurmu, Huyfan. Aku memasuki kamar tidurmu, Huyfan.
 Aku menemukan seorang pembantumu meregang nyawa di tepi ranjang, Huyfan. Kepalanya berdarah, dadanya berdarah, payudaranya berdarah, selangkangannya berdarah, tak mampu bicara. Ia hanya bisa menggerakkan telunjuk ke arah kamar mandi, Huyfan. Aku membuka kamar mandi, Huyfan.
Aku jatuh terburai mencium lantai sambil meraung-raung memanggil Tuhan menyaksikan tubuhmu bugil tanpa biji mata tanpa tanpa hidung tanpa lidah tanpa gigi tanpa puting payudaya tanpa tangan tanpa kaki dan sebuah pisau menancap diselangkanganmu, Huyfan. Hanya sepotong bibir yang masih melekat sempurna sembari tersenyum. Senyum yang teramat memilukan.  Aku…aku…aku...

***

Plak...kreeek...plak...
Aku tak sanggup melanjutkan bacaanku. Kusobek dan kubanting buku itu di atas meja. Belum puas, kembali kuambil lembaran-lembaran yang masih utuh, mencabik-cabiknya, merontokkannya ke lantai, kemudian kembali menginjak-injaknya. Tidak sampai di situ, kuhunus sebilah badik yang meringkuk di pinggangku, lalu menikam dan mencincang buku itu berkali-kali, sampai benar-benar serupa bubur kertas.

Para pengunjung kedai tersentak dan sepakat meloncat dengan raut muka keheranan. Gelas-gelas kopi berhamburan, bidak-bidak catur berserakan, kemudian dengan nafas memburu, aku tinggalkan kedai baca itu. Tak seorangpun diantara pengunjung bahkan tak seorangpun di dunia ini yang tahu jika penulis buku itu adalah aku. 

Tak seorangpun diantara pengunjung bahkan tak seorangpun di dunia ini yang tahu jika aku telah membaca kisahku sendiri yang kutulis dengan mata berkaca-kaca dengan tinta-tinta darah. Juga, tak seorangpun pengunjung bahkan tak seorangpun di dunia ini yang tahu jika aku adalah anak seorang perusuh yang ikut menyutubuhi Huyfan puluhan tahun silam. Dan adakah yang percaya jika sampai sekarang, di usia yang sudah bau tanah ini aku masih hidup sendiri tanpa siapapun tak terkecuali seorang istri? Tak seorangpun…***

[1]Nama salah satu kedai kopi di Makassar, Sipakainga(saling mengingatkan)
(Makassar, 1 Okteber 2011)