Sabtu, 22 Oktober 2011

Kelepak Sayap Burung Gagak

Oleh : Alam Panrita

PEREMPUAN itu duduk sambil melinting tembakau. Kaki kanannya terlipat dengan lutut menghadap ke atas. Paha dan betis kirinya berimpit di lantai papan, sedikit mengintip dari kain hitamnya yang agak tersingkap. Dengan lidahnya, ia menjilati lintikan tembakau. Hidungnya kemudian menciumi lintingan tembakau itu, sebelum asap mengepul membentuk bulatan-bulatan kecil lalu hilang diculik angin.

Ia perlahan berdiri lantas melangkah menuju beranda. Di beranda, ia disambut sepasang kursi rotan dan meja yang dilapisi triplek yang sudah memudar. Ia baru saja menghempaskan tubuhnya di atas kursi, tiba-tiba si Juki, anak bungsunya bergegas menaiki anak tangga.

“Bang Jubir…Bang Jubir ditembak, Bu!”

Tubuh perempuan itu seketika dipatuki ribuan ular berbisa. Sejenak ia mendongak, menatap bayangan langit yang buram tertutup awan. Ada gumpalan kabut datang menggulung, lalu terciprak pada matanya.

“Jubir ditembak? Siapa yang menembaknya, Juki?!”
“Penjaga perkebunan, Bu!”
“Aparat itu maksudmu, ha?!”

Juki hanya diam, tertunduk lusuh dengan mata ikut berkabut.
Belum hilang rasa kenget si Ibu, dari jalan setapak yang menghubungkan jalan utama dengan perkebunan karet, tampak dua orang lelaki sedang menggotong seseorang.

“Jubir ditembak…! Jubir ditembak…!”
“Jubir disangka pencuri getah karet…!”

Kedua lelaki itu menggotong tubuh Jubir yang sudah bersimbah darah menaiki anak tangga. Darah tiada henti mengalir dari luka bekas tembakan di perut Jubir, serupa mata air yang tak kenal musim kemarau.

“Biadab…!”

Pekik perempuan itu dengan mata nanar dan tubuh bergetar. Suaranya seperti gerobak kayu setelah amuk lidah-lidah api membakar rerumpun ilalang, di lindap jalan. Suaranya seperti kesunyian butiran pasir yang bangkit dari dasar laut memahat nisan kematian. Perih menyusui. Ngilu mengigau. Luka mendera.

***

Perempuan itu duduk dipojok dipan mengipasi tubuh anaknya yang terbaring lemah. Ia adalah igau burung dara purba bermata darah pengumpul jelaga. Ia adalah selembar daun jarak yang retak dan koyak-moyak menatap nanar tangan-tangan maut yang mencakar-cakar tubuh busuk yang dirayapi belatung. Ia adalah asap hitam dari arang, mengerang dilindas masa silam yang patah di bawah kaki-kaki belalang yang ditunggangi kuda-kuda jantan. Apakah ia akan kembali menanak air mata di atas tungku-tungku perapian seperti puluhan tahun silam?.

Ya! Puluhan tahun silam, suaminya ikut tertembak dan tersungkur kaku dibaluti halimun dengan mata yang membelalak berusaha menepis cakar-cakar burung gagak berkuku-kuku api. Ya! Puluhan tahun silam suaminya menjadi anjing kurap yang dikuliti belalang-belalang raksasa yang ditunggangi puluhan bahkan ratusan monyet-monyet belang yang menyemburkan bisa dan racun yang dikemas menjadi butir-butir peluru.

Ya! Puluhan tahun silam ia hanya bisa meratap di sela kaki-kaki kekar penggali kubur. Ya! Puluhan tahun silam ia hanya bisa meletupkan doa-doa ke angkasa raya, sambil menciumi sobekan kafan suaminya. Suami yang mati karena memperjuangkan sejengkal tanah yang telah diwariskan turun temurun oleh pendahulunya.
“Saya bukan pencuri, Bu…”

Ia mengusap tubuh yang menggeliat sekutip. Ia mendengar kelepak sayap burung gagak yang semakin mendekat. Ia mendengar pekikan suara gemerincing lonceng yang ditarik para budak. Ia mendengar burung hantu mematuk-matuk tanah merah. Ia mendengar pengakuan seorang anak yang ia yakini sepenuh hati, segenap jiwa.

“Sayalah yang melahirkanmu, Jubir! Saya tahu yang mana pencuri, yang mana bukan. Saya tahu yang mana pembunuh, yang mana bukan. Tanpa pengakuanmu-pun saya sudah yakin!.”

Di lekuk malam yang buram, mereka lihai dalam tatap yang rancu. Di lengkung masa yang suram, jari mereka saling menyentuh, serupa anak-anak daun yang tersusun menjari, berserak kapuk ketidak-berdayaan.

***

Angin malam meradang. Dingin menukik geram. Tirai jendela berkibas jalang. Sayup-sayup, terdengar suara kelepak burung gagak yang semakin mendekat, semakin merapat. Dulu, dulu ketika suaminya tergeletak kaku dengan luka membeku, ia menyaksikan sendiri bagaimana burung gagak itu perlahan menukik turun dari bukit. Meraung-raung, menyemburkan lidah-lidah api, seakan ingin membakar savana, lalu bertengger di bahu suaminya, mematuk-matuk kepala, mata, dan dada, sebelum gagak itu mematuk tanah.

Waktu itu, ia dengan sigap memungut batu sekepalan tangan. Ia tidak mau gagak itu mengambil mata suaminya. Ia tidak mau gagak itu mengambil kepala suaminya. Ia tidak mau gagak itu mengambil dada suaminya. Ia tidak bisa membayangkan mayat suaminya tanpa biji mata, kepala bahkan dada. Tetapi, baru saja ia mengambil ancang-ancang hendak melontar, gagak itu sudah kembali terbang, menyemburkan lidah-lidah api, pada matanya, pada mulutnya, pada cakarnya, bahkan bulu-bunya sudah menjelma lidah api yang membara, lidah api yang menyala-nyala.

Ia memeriksa setiap inci tubuh suaminya, memastikan jika mata, kepala, dada dan semua anggota tubuh suaminya masih utuh. Dan benar saja! Bukan hanya utuh, bahkan bekas luka tembakan sudah tertutup, dan ceceran darah sudah menjelma menjadi halimun. Suaminya pergi dengan seutas senyum, meninggalkan dirinya yang terperangkap di dalam kerak kesedihan yang tak terbatas ruang dan waktu. Matanya yang semula membelalak, perlahan tertutup rapat. Mulutnya yang semula mengaga, perlahan mengatup dan seketika tumbulah kuncup-kuncup mawar yang merekah tersapu cahaya.

“Saya hanya menghalau sapi-sapi kita, Bu…”
“Sudahlah, Jubir! Bagi sebagian orang, tidak ada alasan untuk mempercayai anak gembala seperti kita. Bagi sebagian orang, tidak ada alasan untuk mempercayai orang miskin seperti kita. Bagi sebagian orang, pencuri dan pembunuh hanya bisa disematkan kepada orang-orang melarat seperti kita!.”

***

Dan kelepak sayap burung gagak itu semakin terdengar jelas. Perlahan-lahan, lambat-laun, pelan namun pasti, suara kelepak itu semakin jelas, kian jelas, sangat jelas, lalu berhenti dan menyisahkan desiran angin yang meresap lembut di sela jendela.

Ia terperanjat dan ingin meraih gagang sapu yang tergeletak di samping dipan, tetapi ia merasakan ada sentuhan lembut di bahunya, serupa sentuhan kapas yang menyusup di sela-sela kabut.

“Jubir lelah menunggangi sapi dan kerbau setiap hari selama puluhan tahun, Ibu! Ijinkan Jubir menunggangi gagak itu sekali saja!”

Ia menatap lekat bola mata anaknya. Bola mata yang dulu sedemikian berapi-api menebas matahari atau memanah bulan. Sepeninggal suaminya, anaknya-lah yang menjelma sebagai tulang punggung keluarga yang tiada lelah, tiada keluh kesah mengais biji-biji jagung untuknya. Ia menatap bibir anaknya yang tersenyum tipis seolah meyakinkan jika anaknya memang layak dan sudah mampu menunggangi buruk gagak bermata api yang kini sudah bertengger di balok yang melintang pada jendela.

“Kau yakin, Jubir?”
“Percayalah, Bu! Jubir akan mengabarkan kepada ayah, bahwasanya keluarga kita mati terhormat, tanpa pernah menjilat hasil curian secuilpun. Tubuh boleh tertembak, tubuh boleh membusuk dirayapi belatung, tetapi perut kita hanya berisi biji-biji jagung yang kita petik di ladang kita sendiri!”

Dan ia perlahan menutup mata tak kuasa bersitatap dengan anaknya. Dan ia hanya merasakan desau angin yang perlahan layu meninggalkan aroma daun pandan yang menyeruak laju di atas hamparan cahaya emas keperakan, yang membentang dan menggumpal-gumpal di dalam kamarnya. Setahun, sepuluh tahun, seratus tahun, atau seribu tahun yang akan datang, ia percaya kelepak sayap burung gagak bermata api itu akan kembali datang, menyemburkan api ke dalam mulut orang-orang yang tega memisahkan ia dengan anaknya. Kapankah keadilan datang menudungi bumi kami yang berkabut? ***

(Makassar, 5 0ktober 2011)