Sabtu, 22 Oktober 2011

Bulan Pucat Kehabisan Darah


AKU tersontak kaget. Tiba-tiba saja Ibu sudah berdiri di depan pintu kamar, lengkap dengan pakaian kebesarannya : baju kebaya kuning keemasan, selendang tanggung sutra limar hijau dengan motif lepus bintang berante dan sarung batik bermotif tambal dengan berbagai aneka bunga. Aku tahu persis jika pakaian kebesaran itu hanya Ibu kenakan jika ingin menghadiri  acara kawinan. Tetapi, sepengetahuanku, musim kawinan di kampung kami telah berakhir sejak beberapa bulan yang lalu. Lagi pula, mana ada pesta kawinan selarut ini?.


Di kampung kami, selain ada musim hujan dan kemarau, juga dikenal istilah musim kawin yang berlangsung antara bulan Juli-Oktober. Menurut Ibu, warga sepakat menetapkan musim kawin antara Juli-Oktober-walaupun secara tidak tertulis- selain untuk menghindari musim hujan yang tentu saja bisa merusak acara resepsi, juga karena di bulan itu, para warga akan panen berbagai macam hasil kebun dan sawah yang bisa digunakan sebagai uang nikah dan uang belanja untuk kedua mempelai.


Tetapi perempuan yang berdiri di depan pintu kamar itu kupastikan benar-benar Ibu. Bagaimana mungkin aku salah? Bagaimana mungkin seorang anak bisa lupa dan tidak hafal dengan wajah ibunya?. Ibu perlahan mendekat. Seketika aroma kuncup melati menyeruak laju memenuhi kamar. Memang, Ibu sangat suka dengan aroma bunga melati. Dulu, setiap kali ingin ke pesta kawinan, Ibu tak lupa memakai wangi-wangian beraroma bunga melati. 


Ibu semakin mendekat, dan sekarang sudah berdiri di depanku yang sedang berbaring di atas ranjang. Betapa ingin aku bangkit, tetapi tubuhku seolah melekat dengan kasur ranjang. Betapa ingin aku bersuara, tetapi tenggoranku seolah tersumbat entah dengan benda apa. 


Perlahan, Ibu membungkuk lalu membetulkan kain penutup tubuhku yang sudah melorot. Tangan Ibu merayap, menyentuh dada, bibir lalu mengusap rambutku dengan lembut. Ibu tersenyum tipis namun sangat menawan, seolah tiada lagi yang lebih menawan. Ibu perlahan mencium keningku, dan aku hanya bisa mengatupkan mata. Ada serupa butiran salju yang seketika menyusup ke dalam tubuhku, manakala bibir Ibu menyentuh keningku. Sejuk yang menyenangkan.  Lalu, perlahan mulut Ibu merapat di kupingku, mengucapkan kata yang tidak bisa kupahami.


“Sudahlah! Bukankah hidup memang berisi seribu satu macam kemungkinan yang sulit kita tebak? Berhentilah bersedih, apalagi menyalahkan dirimu sendiri. Bangkitlah!” 
Aku bingung memaknai kata-kata Ibu. Aku ingin menanyakan maksud perkataan Ibu, tetapi tenggorokanku benar-benar terasa tersumbat. Aku ingin bangkit mendekap Ibu seperti yang sering aku lakukan selama ini, tetapi tubuhku benar-benar melekat dengan kasur ranjang. Jangankan untuk bangkit, sekedar bergerakpun aku tidak sanggup. Tubuhku serupa berlumuran ber gallon-galon lem yang melekatkan tubuhku dengan kasur ranjang ini.  


Mulut Ibu perlahan menjauh dari kupingku. Ibu perlahan bangkit, lalu menatapku dengan iba. Ibu perlahan berbalik, lalu dengan sangat pelan melangkah menuju mulut pintu. Sekali lagi Ibu menoleh, lalu kembali tersenyum.


“Ibu akan menghadiri suatu undangan, Hudan. Mungkin dalam waktu yang agak lama, bahkan terlampau lama, mengingat jarak dari sini ke tempat itu sangat jauh! Ibu ada undangan dari Negeri Cahaya, Hudan. Jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi, berhentilah bersedih!”.
Lalu Ibu kembali melangkah. Lalu Ibu membuka pintu kamar. Lalu Ibu menutup pintu kamar. Lalu Ibu menghilang, seiring menghilangnya aroma kuncup melati. Lalu sepi meninggi ke puncak sunyi, dan aku diam dalam keheningan yang terlampau menyakitkan.


***


Dalam diam aku meraba kenangan. Dalam kesunyian aku mencoba mengingat-ingat sosok Ibu. Ya, aku ingat. Dulu, ketika aku masih kecil, di dalam pelukan ibulah aku merasa aman dan terlindungi ketika suatu hari Ayah Jojo datang mengamuk setelah anaknya kubanting ke dalam selokan karena sering mengolokiku. Mengatai Ibu pelacurlah, menyebut aku anak jadahlah, anak miskin tak tahu diri, bangsat, dan puluhan gelaran lainnya.


“Jangan coba-coba mengganggu Hudan, Barka!,” bentak Ibu penuh amarah ketika Ayah Jojo mengancam akan mengulitiku, “Seharusnya kau yang harus malu punya anak lelaki cengeng seperti Jojo. Begitulah jika anak terlahir dari operasi laser karena kau mengandalkan uang. Tidak seperti Hudan yang terlahir tanpa bantuan siapapun!”.  


Ajaib! Hanya dengan satu kalimat, Ayah Jojo perlahan berbalik lantas pergi. Walaupun, lelaki kaya itu sempat membuang satu kata ke udara yang menikam jiwa kami.
“Dasar anak berandalan...! Ibu dan anaknya sama saja. Sama-sama sialan. Dasar anak pelacur!”.


***


Tiada sedikitpun rasa takut selama aku masih berada di sisi Ibu. Hidup terasa begitu mudah seolah aku sedang melaju dengan mobil di atas jalan bebas hambatan. Dulu, Manakala petir menggelengar dan kilat menyambar-nyambar, saat itulah Ibu mulai mendongeng tentang pangeran guntur yang membebaskan putri kilat yang tertawan di negeri hujan. Ibu melucu, dan aku tertawa terpingkal-pingkal. Katanya, pangeran guntur itu buta tetapi ia punya mata hati yang amat peka. Sedangkan putri kilat, selain cantik, ia juga tak henti mengeluarkan cahaya. Kata Ibu, seluruh tubuh putri kilat dibaluti cayaha kuning keemasan.


“Apakah pangeran guntur tidak takut dengan hujan, Bu?!”
“Oh, tidak!,” lalu Ibu merapatkan mulutnya ke kupingku, berbisik lirih walaupun kami berada di dalam kelambu dan tiada seorangpun yang bisa mendengarkan percakapan kami, tidak juga tokek yang sesekali berbunyi di atas sana, “Hujan itu selain buta, ternyata juga tuli, Hudan! Jadi lucu kan? Pangeran buta ketemu dengan musuhnya yang buta dan tuli?!” lalu kami terpingkal-pingkal, tawa kami renyah menguliti malam yang tiada henti memandangi kami dengan heran.


“Apakah pangeran guntur dan putri kilat juga tidak punya Ayah seperti Hudan, Bu?”.
“Husss! Mana ada seseorang yang terlahir tanpa Ayah? Pangeran guntur dan putri kilat lahir dari rahim Ibu yang bernama langit, dan Ayah yang bernama tanah, Hudan! Begitupun kau! Kau terlahir dari rahim Ibu, dan ayahmu...”
“Ayahku siapa, Bu?”
“Ah, sudahlah! Ayahmu sudah Ibu tentang, karena kau tidak membutuhkannya. Bukankah kita bisa bahagia walaupun tanpa sosok Ayah, Hudan? Jadi berhentilah menanyakan Ayahmu, sayang...!”
Lalu kami berdekapan merajut mimpi, melewatkan malam yang begitu indah di dalam kelambu. Barulah ketika aku mulai remaja, Ibu mengatakan yang sebenarnya. Tentang siapa ayahku sesungguhnya.

“Maafkan Ibu, Hudan! Ibu punya masa lalu yang suram dan teramat ingin Ibu lupakan. Ibu yakin, dengan kehadiranmu, perlahan-lahan semuanya bisa kulupakan. Kau adalah cahaya yang bisa menerangi kegelapan itu, Hudan,”

Suara Ibu sejenak tertahan, mungkin mencoba memilih kata yang tepat, “Dulu kami memilih lari karena cinta kami tidak direstui keluarganya mas Damar. Itulah hal yang paling konyol yang pernah Ibu lakukan sepanjang hidup Ibu,” angin bertiup lebih kencang, menampar wajah kami yang bersisian di beranda rumah. 


Awan menggumpal, dan langit seketika hitam, “Sialnya, ketika Ibu sedang hamil tua dari hasil cinta terlarang Ibu dengan mas Damar, ia memilih kabur dengan perempuan lain. Ah, betapa cinta terkadang habis terkikis waktu, Nak! betapa mata terkadang silau menatap rembulan, Nak!,” hujan mulai jatuh satu-satu. Angin semakin kencang, dan kilat sesekali memotret bumi, “ Ibu terkatung-katung maratapi nasib. Andai saja Ibu tidak sedang mengandungmu waktu itu, andai saja Ibu tidak memikirkanmu, mungkin Ibu telah memutuskan untuk mengakhiri hidup saat itu juga.  Kaulah yang membuatku kuat, hingga Ibu berhasil melewati masa yang paling sulit dalam hidup Ibu, Hudan!”. Hujan semakin deras, angin menggeliat, merontokkan ranting-ranting cemara di depan rumah.


“Lalu...,” tanyaku tersendat serupa kijang yang terluka di ujung tombak, “Betukah kata orang-orang jika Ibu...,” kali ini kijang itu tersungkur, diam terbujur kaku, serupa kataku yang tak mampu kulanjutkan.
“Terserah bagaimana tanggapanmu, Hudan! Apa yang bisa Ibu lakukan setelah melahirkanmu, sedangkan Ibu sendiri tidak punya pekerjaan dan hanya numpang di rumah kontrakan? Hidup banyak pilihan, tetapi saat itu Ibu merasa pilihan lain sedang bersembunyi di ketiak waktu!” Ibu menatapku nanar, dan aku tahu, tanggul di belakang kelopak matanya sebentar lagi akan jebol,” Ibu melacurkan diri, dan setelah merasa cukup, Ibu berhenti dan membawamu ke rumah ini. Ke rumah kita...!”


Dari arah bukit, seekor anjing melolong. Kilat menyambar-nyambar, dan petir menggelegar. Hujan semakin deras, dan tanggul di belakang kelopak Ibu kali ini benar-benar jebol. Mengirimkan air bening, yang tumpah membasahi wajahnya. Aku merapat, lalu mendekapnya.


“Apakah kau membenci Ibu, Hudan?!” Kata Ibu lirih sambil mendekapku.
“Adakah alasan membenci seorang Ibu yang telah menjual harga dirinya demi melahirkan dan membesarkan seorang anak? Aku tidak akan sanggup membalasnya, dengan cara apapun juga, Bu. Pengorbanan Ibu terlampau mahal harganya, sampai tak dapat dinilai dengan apapun juga!”.


***


Koran pagi masih tergeletak di tepi ranjang kamar rumah sakit. Koran itu, akan selalu kubawa kemanapun juga. Di halaman depan, ada sebuah berita yang tak pernah sanggup aku baca dengan tuntas.
...tiga hari yang lalu, sebuah bus mengalami kecelakaan dan masuk ke dalam jurang. Seorang perempuan paruh-baya ditemukan tewas mengenaskan bersama empat belas penumpang lainnya, termasuk sopir bus itu. Hanya ada seorang penumpang yang selamat, walaupun harus rela kehilangan satu kaki setelah diamputasi…

Hitam perlahan turun menudungi bumi, menyusup masuk ke dalam kamar. Padahal, pagi masih terlampau ranum. 

Gelap. 
Hitam. 
Pekat. 

Seorang lelaki sesekali tampak tersenyum sambil menggapai-gapaikan tangannya. Lelaki itu sedang menyaksikan seorang perempuan paruh-baya yang tiada henti melambaikan tangan di atas puncak bukit yang tersapu cahaya kuning keemasan, seperti batu-batu karang yang dijilat cahaya senja. 


Perempuan itu begitu anggun dengan balutan kebaya kuning keemasan, selendang tanggung sutra limar hijau dengan motif lepus bintang berante dan sarung batik bermotif tambal dengan berbagai aneka bunga. Apakah itu negeri cahaya? Lelaki itu terlampau ingin menunggangi angin, melesat menerobos jendela kamar sambil membawa lembaran koran  dan selendang Ibu yang tiada pernah terlepas digenggamannya. Lelaki itu sudah tidak sabar lagi untuk mendaki bukit menuju puncak Negeri Cahaya. Lelaki itu adalah aku***

(Makassar, 15 Oktober 2011)