PADA waktu-waktu tertentu, kenangan akan datang menyesup ke dalam hati siapapun tak terkecuali ke dalam hatiku. Banyak kenangan yang dikais dari masa lalu, yang kadang membuat kita merasa geli dan senyum sendiri. Tetapi, dilain waktu, kenangan itu akan menjelma serupa burung gagak bermata api yang tak henti mengepakkan sayap di ranting pohon yang bermandikan duri.
Memuntahkan kembali lembaran hitam dari serbuk-serbuk duka dan luka, bahkan terkadang hati terasa begitu nyeri dan menyeruaklah air mata membentuk genangan-genangan halimun yang pucat di sepanjang garis hujan.
Alangkah indahnya kenangan masa lalu di mana kita mulai menata taman bunga direlung hati masing-masing, menyiram tunas-tunas asmara yang membiak, berpendar-pendar serupa cahaya senja yang merah membakar langit, yang kuning menyapu laut, yang perak membilas batu-batu karang.
O, indahnya waktu itu, seolah tiada lagi yang lebih indah. Yang indah hanyalah taman, yang indah hanyalah senja, yang indah hanyalah binar matamu, yang indah hanyalah senyum tipismu, gemulai langkahmu, genggaman jarimu, kecupan mesramu, dan dekapan eratmu. Apa lagi yang lebih indah menyaksikan dirimu berkemas di bawah siraman senja sebelum kita menikmati malam-malam yang basah?
Tetapi begitulah! Kenangan adalah dua sisi mata koin. Ada yang indah, ada juga yang luka. Kenangan adalah secangkir kopi manis yang mau tidak mau, suka tidak suka, banyak atau sedikit, tetap saja meninggalkan ampas hitam. Kenangan adalah lengkingan terompet Kenny G yang indah mendayu-dayu, tetapi meninggalkan kecipak-kecipak nada yang getir dan menyayat kalbu.
Hidup adalah kenangan, saling merangkai dan menyambung antara kisah yang satu dengan kisah yang lainnya. Kadang terangkai begitu sempurna, sehingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang kembali. Kadang pula tercabik di sana-sini, koyak-moyak di mana-mana, dan meninggalkan perih yang mengiris ulu hati.
Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam yang begitu senyap, disaat rembulan datang menantang, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak di lintas tualang di lindap jalan. Adakalanya, kenangan itu datang seketika dari negeri entah, melukis bayang-banyang di depan mata, mengukir kisah-kasih di permukaan kaca, di daun jendela, di langit-langit kamar, di sepanjang trotoar, di bibir pantai dan di mana saja.
***
Seperti senja itu, aku mengenangmu di sudut kafe yang menjuruk ke arah pantai losari[1]. Ya! Kau masih ingat kan? Dulu, kita sering menghabiskan malam di kafe ini, setelah menikmati siraman senja di bibir pantai. Di sinilah sekarang aku berada. Duduk sendiri di sudut bagian belakang. Tempat yang paling kau gemari.
Katamu, dari tempat ini, kita leluasa menyambut bintang dan rembulan. Katamu, dari tempat ini, di bawah keremangan lampu dan alunan musik romantis, kita bisa leluasa bertatapan, saling menggenggam jari tanpa harus malu terlihat pengunjung lain. Tempat ini sudah banyak berubah. Sejak kepergianmu ke kota lain dua tahun lalu, rupanya kafe ini ikut berkemas. Kursi anyaman rotan yang unik berwarna cokelat, kini telah berganti dengan sofa empuk. Meja kayu jati berukir, kini telah berganti dengan meja-meja kaca yang mewah. Ah! Begitulah waktu. Ia enggan mengabadikan sisa-sisa cerita kita.
“Mau pesan apa, mas?” sapa pelayan mengangetkanku, dan seketika menjaulah kenangan itu, terbang mengitari kafe dengan kepakan sayap yang menciptakan kecipak-kecipak rindu.
“Aku mau pesan dua segelas kenangan!,” pelayan itu tampak heran, dan matanya menyapu setiap sudut sofa, “Jangan khawatir! Sebentar lagi, Ia pasti datang! Kami akan duduk melewati malam seperti biasa!”. Pelayan itu tiba-tiba pergi, tanpa menanggapi ucapan dan permintaanku. Sejurus kemudian, datang lagi pelayan yang lain. Ah, dari jauh, pelayan itu sudah kukenali. Dulu, dialah yang setia melayani kita, bahkan rela mengundur waktu tutup karena menunggui kita.
“Mau pesan apa Sawung? Lama sekali baru muncul. Mana Maryam?”
“Sebentar lagi ia datang! Seperti biasa, aku pesan dua gelas kenangan!”
“Tapi…,” kata Pak Randu terhenti, dan menatapku iba.
“Tapi kenapa, Pak?! Bapak jangan bergurau! Cepat sediakan, sebelum ia datang. Bapak tahu kan? Ia tidak akan memesan minuman apapun kecuali segelas kenangan seperti dulu!”
“Maaf, Sawung! Sejak kalian tidak pernah lagi muncul sejak dua tahun lalu, minuman kenangan telah kami hapus dari daftar menu. Kau tahu sendiri kan? Hanya kau dan Maryam yang selalu memesan minuman itu, setiap hari dan sepanjang malam. Dua gelas menjadi empat gelas, empat gelas menjadi delapan gelas, dan seterusnya seperti kalian memiliki perut sebesar kolam! Pesanlah yang lain saja!”
“Tidak, Pak! Bapak pernah lihat sendiri kan? Maryam muntah setelah mencoba minuman lain? Pokoknya, aku mau dua gelas kenangan. Berapapun harganya, akan saya bayar!”
“Sayang sekali, anak muda! Minuman kenangan tidak semudah mencampur jus alpukat, atau membuat sarabba[2]. Butuh waktu bertahun-tahun untuk meramunya, dengan bahan yang tidak sembarangan. Maaf jika malam ini Bapak menyecewakan kalian. Permisi!”.
Aku duduk terpaku di atas sofa. Rasa kecewa seketika menjalar ke tubuhku. Seperti janjinya, sebentar lagi Maryam akan akan datang. Hanya karena Maryamlah aku kembali lagi ke kafe ini. Semalam, ketika aku sibuk melukis potongan senja yang pucat, tiba-tiba pesan Maryam masuk di ponselku. Entah kenapa, nomor ponselnya tiba-tiba kembali aktif. Sejak dua tahun lalu, semenjak kami berpisah di dermaga itu, ponselnya dikuasai suara wanita yang sangat membosankan, yang hanya bisa mengucapkan satu kalimat : nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Aku kembali membuka pesan masuk. Tidak salah lagi, dan tidak ada yang keliru. Ini betul-betul nomor maryam.
Besok malam kita ketemu di tempat biasa ya? Aku akan kembali ke kota kita dulu.
Pengirim:
Perempuan Kenangan, Maryam
081242******
Diterima:
09:12:58
10-11-2011
Tetapi ke mana ia? Sejak SMS itu kuterima, ponsel Maryam kembali tidak aktif. Sudah berulang kali aku mencoba menghubunginya, tetapi ponselnya kembali dikuasai perempuan bersuara buruk itu yang mengaku bernama Veronika.
***
Malam semakin larut. Sudah lima jam lebih aku duduk sendiri di sofa ini. Melewatkan senja, melewatkan malam yang perlahan mengirimkan dingin. Sepotong bulan tampak mengejek di atas sana. Lampu-lampu kota masih saja gemerlap walaupun sebagian telah padam. Aku mulai putus asa. Tetapi, aku masih mencoba bertahan sebentar lagi.
Barangkali saja maryam sedang dalam perjalan. Di ujung pantai terjauh, lampu-lampu kapal semakin membesar, pertanda kapal mulai merapat di bibir pantai. Apakah Maryam ada di sana? Tiba-tiba harapan itu muncul kembali, membiak dan menggumpal di dalam sanubari. Aku sudah memikirkan dua kata yang tepat untuk menyambutnya. Yang pertama, kata makian setelah dua tahun tidak pernah menghubungiku, dan yang kedua, tentu saja karena aku tidak sanggup menyiapkan segelas minuman kenangan untuknya.
Tepat jam 11.11.11.11 (baca: jam 11 tanggal 11 bulan 11 tahun 2011) sebuah pesan masuk di ponselku. Itu pasti SMS Maryam. Ponsel loncat dari tanganku, terburai di atas lantai, setelah aku membaca pesan masuk.
Maaf, aku batal menemuimu. Itu namanya selingkuh, padahal suamiku begitu setia walaupun kadang menjengkelkan.
Pengirim:
Perempuan Kenangan, Maryam
081242******
Diterima:
11:00:00
11-11-2011
Dan aku menyusuri kota mencoba mengubur kenangan di taman-taman kota dan disepanjang trotoal dengan isi perut yang nyaris terburai : sakit!
Catatan: [1]pantai di Makassar[2]minuman khas Makassar dari campuraan gula merah, jahe dan santan dengan cara dipanaskan. Jika ada kesamaan dengan nama tokoh, bukan faktor kesengajaan. Jam 11: 11-11-11 belum terjadi, tetapi pasti akan datang sebentar lagi, dan menjadi inspirasi tersendiri dalam cerita ini.
(Makassar, 12 Oktober 2011, Popsa, Pantai Losari)