Mata tua itu memandang keluar jendela. Menatap ranting-ranting patah dan bulan pucat kehabisan darah. Ia teringat masa lalunya. Masa muda yang ia habiskan di medan perang. Tak gentar dengan bunyi mesiu dan dentuman granat yang menggelegar menggetarkan hati. Tiada satupun yang membuat ia dan teman-temannya takut waktu itu, demi untuk melepaskan diri dari kekangan penjajahan yang melilit harga dirinya sebagai bangsa terjajah.
Demi sebuah kemerdekaan, ia dan teman-temannya tampil sebagai pejuang garda depan, berteriak dan menerkam laksana harimau, menombak ulu hati musuh, membidik jidat musuh dengan senjata lars panjang hasil jarahan, lalu tertawa terpingkal-pingkal manakala musuh seketika roboh, menggelepar lalu terbujur kaku dengan biji mata yang ingin meloncat keluar.
Alangkah indahnya masa itu. Alangkah indahnya menyaksikan sebuah kekalahan di pihak musuh, dan alangkah indahnya menikmati sebuah kemenangan. Kemenangan yang kelak akan dinikmati cucu-cucunya? Ya, barangkali. Karena, baginya, waktu itu tak ada waktu untuk menyusun rencana apapun selain rencana untuk merengguk nyawa musuh sebanyak-banyaknya. Tak ada waktu untuk menikmati sepotong bulan pucat atau ranting patah. Waktu adalah perjuangan mengusir penjajah, dan tiap detik sangatlah berharga. Ya. Satu detik satu nyawa musuh!
***
Perempuan itu bergegas memasuki halaman rumah. Oh, bukan rumah. Lebih tepatnya sebuah gubuk. Dan terlalu sempit jika disebut halaman. Ukuran tanah kosong di depan gubuk itu tidak lebih 2 meter persegi. Sejak dua tahun yang lalu, sejak perempuan itu menikah dengan Bang Toha, ia memutuskan untuk ikut suaminya ke desa sebelah. Ikut membantu Bang Toha sebagai pengangkut pasir. Ia hanya datang ke gubuk itu tiga kali dalam seminggu, bahkan kalau terlampau sibuk, ia kadang datang hanya sekali dalam seminggu. Mengantar sedikit beras, obat batuk, ikan asin dan tembakau. Ia ikut duduk di kursi rotan. Ia ikut memandangi ranting patah dan bulan pucat kehabisan darah.
“Kata Bang Toha, kita mesti membayar kartu kompensasi itu. Bang Toha sendiri yang tadi siang datang ke kelurahan.”
Bulan semakin pucat. Suara gemeretak ranting patah terdengar jelas. Bunyi tangkai-tangkai akasia dan biji pala yang jatuh di atap gubuk menandaskan jika angin malam bertiup lebih kencang. Suara jangkrit di balik batu melebur bersama suara kodok. Seekor kunang-kunang terbang melingkari batang pohon akasia. Berkedip-kedip serupa suar-suar cahaya yang bergelantungan di tiang kapal di tengah laut.
“Ah, keterlaluan sekali mereka! Setengah mampus dulu aku membela Negeri ini, masa untuk mendapatkan kartu miskin saja harus pakai duit, ha?”
“Katanya begitu aturannya. Bapak juga harus menyiapkan KTP dan mendaftar sendiri ke Pak RT. Tidak boleh diwakili.”
“Suruh saja mereka ke sini. Lihat bekas pelor ini. Apa belum cukup bukti jika aku termasuk salah satu sisa-sisa pejuang Bangsa? Bekas luka di bahu Bapak, lebih afdol dibanding KTP jenis apapun.”
“Dan satu lagi! Katakan kepada mereka, jika Bapak tidak butuh piagam dan medali. Tukar saja piagam dan medali itu dengan jam dinding. Jam dinding lebih berharga dibanding medali dan piagam tak berguna itu. Biar Bapak bisa tahu kapan waktunya shalat, dan kapan waktunya minum obat batuk. Dasar manusia sok perhatian.”
“Sabar, Pak! Bang Toha juga sudah menemui Pak RT. Semuanya pasti beres, dan Bapak bisa mendapatkan dana setiap tiga bulan sekali.”
“Ada dana atau tidak bagi Bapak sama saja, Lastri! Bapak bukan pengemis anggaran dan tidak mau membebani pemerintah. Hanya saja, jika kelakuan mereka seperti itu, mempersulit keadaan dan minta uang jasa segala, rasanya Bapak begitu muak dan ingin muntah. Dasar penjajah era baru. Penjajah rakyatnya sendiri.”
Suasana perlahan hening. Tiupan angin melambat pelan. Suara jangkrit dan kodok menghilang. Mungkin mereka ikut terharu mendengarkan perbincangan seorang Bapak dengan anaknya. Kunang-kunang ikut lenyap. Tetapi bulan diatas sana semakin tampak pucat. Gemeretak ranting-ranting patah masih terdengar sesekali.
***
Lelaki itu berlari-lari kecil menuju sebuah gubuk. Sesekali ia berhenti, membungkuk dan kedua tangannya bertumpu pada lutut. Nafasnya tersengal memburu. Lalu ia kembali berdiri tegap. Ia mengelap keringat di wajahnya dengan telapak tangan. Ia kembali berlari-lari kecil, berjalan cepat, melambat lalu berhenti di depan pintu. Ia merogoh saku celana kolornya, mengeluarkan sebuah kertas sambil tersenyum simpul. Senyuman indah dan menawan. Senyuman lelaki pengangkut pasir.
“Ada apa Toha? Siang-siang begini sudah datang. Apa sedang libur mengangkut pasir?”
“Anu, Pak! Aku mengantarkan kartu miskin ini untuk Bapak. Aha…Mana ada hari libur bagi Toha? Mobil-mobil tongkang semakin banyak dari kota. Kata sopir tongkang itu, pembangunan di kota semakin pesat saja akhir-akhir ini.”
Bang Toha mengikuti langkah lelaki tua itu masuk ke gubuk. Mereka duduk berhadap-hadapan melingkari meja plastik. Sejenak mereka membisu. Mereka sibuk melenting tembakau. Sejurus kemudian, asap sudah membentuk bulatan-bulatan kecil, mengepul lalu menyumbangkan polusi ke udara. Sesekali, lelaki tua itu mendehem lalu terbatuk, seakan-akan ingin menegaskan jika tembakau memang punya hubungan linear dengan obat batuk hitam seperti yang diantarkan Lastri. Dan dahak itu, lihatlah! Dahak itu adalah hasil hubungan simbiosis mutualisme antara lentingan tembakau dan air liur. Bukan hanya itu. Pandangilah lekat-lekat warna gigi Pak tua dan Bang Toha. Serupa tapi tak sama. Maksudnya, jumlah dan bentuknya tak sama, namun warnanya serupa. Hitam kecoklatan.
Akh…Bayangkan sendiri bagaimana kira-kira warna gigi pengisap tembakau setiap hari, putus-sambung semenjak puluhan tahun yang lalu. Dan jika mengingat umur lelaki tua itu, satu-satunya produk kolonialisme yang masih tersisa di desa itu, kita bisa menarik satu kesimpulan jika dokter sudah keliru memvonis tembakau bisa merusak kesehatan, apalagi menyebabkan kematian. Yang benar, tembakau bisa mengakibatkan batuk berdahak dan warna gigi yang sexy. Barangkali! -pelajaran moral no.29: jika ingin gigi tampak sexy, banyak-banyaklah menghisap lentingan tembakau. Mungkin!
“Semudah itu kau bisa mendapatkan kartu ini, Toha? Kau betul-betul menantu yang bisa diandalkan. Tetapi Lasri bilang jika harus punya KTP dan tidak boleh diwakili? Ughuk…ugh…huk.”
“Tenang dan terima saja Pak! Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Sekarang, apa yang tidak bisa jika ada uang di kantong?!” Tandas Toha.
“Darimana kau dengar kata-kata itu Toha? Pintar sekali kau bicara!”
“Anu, Pak! Dari sopir tongkang…”
“Luar biasa. Menantu bijaksana. Pengangkut pasir nomor wahid yang bermental baja. Generasi-generasi seperti inilah yang dibutuhkan bangsa kita. Tiada pernah kenal putus asa, dan berhati mulia. Bayangkan! Bahkan kau sudah menjadi pilar pembangunan kota, dengan cara mengisi mobil tongkang mereka dengan pasir setiap hari. Lain waktu, mungkin kemuliaan hatimu meningkat beberapa digit, sehingga kaupun berangkat ke kota untuk menguras WC orang-orang kota itu. Bukan begitu, Toha?”
“Iya. Tentu saja. Terima kasih dan mohon doa restunya, Pak!”
Jawab Bang Toha lantang dan semburat kebahagiaan di wajahnya berpendar-pendar. Senyumannya mengambang dan bola matanya berbinar-binar. Cahaya yang menerobos masuk lewat sela atap rumbia, memantul ke dinding anyaman bambu lalu memantul kembali ke gigi Bang Toha, membentuk sebuah piramida berwarna kuning kecokelatan yang teramat memikat. Indah berkilau sampai-sampai mata Pak tua kelihatan silau. Betapa mulia adanya niat Bang Toha, walaupun ia lelaki putus sekolah. Ternyata, kemuliaan hati tidak ada hubungannya dengan runcing pena dan ruas-ruas buku.
Maka sejak hari itu, seorang lelaki tua yang pernah tertembus peluru musuh ketika membela bangsanya, seorang lelaki tua yang yang harus kehilangan istrinya puluhan tahun silam akibat penyakit yang sangat dimusuhi dokter dan rumah sakit, tahu kan? Penyakit yang dimusuhi dokter dan rumah sakit itu? Tiada lain dan tak bukan penyakit yang diderita orang miskin yang tidak punya biaya, seorang lelaki tua yang membesarkan anaknya dengan butiran jagung dan daun singkong, secara resmi diakui oleh pemerintah melalui perpanjangan tangan Pak RT, sebagai salah satu dari ratusan, ribuan, bahkan jutaan, atau lebih tepatnya berjuta-juta rakyat miskin lainnya yang terseret di bawah arus kemelaratan.
Begitu beratnya sebuah pengakuan bagi lelaki tua itu, meskipun hanya pengakuan atas kemiskinannya sendiri, seperti halnya beratnya pengakuan penjajah atas tiap tetes keringat dan darah yang sudah ia percikkan demi sebuah pengakuan kemerdekan bagi bangsanya.
***
Jika melihat antrian yang panjang sambil berdesak-desakan seperti hari itu, sangat aneh rasanya jika kita sepakat bahwasanya Negara kita adalah Negara kaya, adil, makmur dan sentosa. Lihatlah! Ada ribuan wajah-wajah miskin yang tumpah ruah, memegangi kartu miskin masing-masing sambil antri di loket untuk mendapat jatah atas kemiskinan mereka yang tidak seberapa.
Dan diantara orang-orang miskin itu, ada seorang lelaki tua produk kolonialisme yang ikut antri dibarisan belakang. Sesekali ia berjingkat, memegangi bahu orang didepannya untuk mengukur seberapa jauh lagi jarak antara tangan kasarnya dengan rupiah itu. Dulu, waktu ikut berjuang merebut kemerdekaan, ia tergabung di barisan pemuda garda depan. Tetapi sekarang, demi tiga lembar uang ratusan, ia harus rela berada dibarisan paling belakang.
Semakin lama, antrian semakin panjang. Semakin lama, wajah-wajah miskin yang datang sambil menggenggam kartu kompensasi semakin membludak. Di bawah terik matahari, mereka berdesak-desakan. Perlahan-lahan suasana menjadi gaduh dan tak terkendali. Apalagi, ratusan warga lainnya datang memprotes karena tidak kebagian kartu. Mereka-orang-orang miskin itu- tidak kebagaian kartu kompensasi dengan berbagai macam alasan.
Ada yang memang tidak didata, ada yang tidak punya KTP dan kartu keluarga, dan berbagai alasan lainnya. Mereka tidak pernah tahu, jika jatah uang mereka sudah masuk di kantong para pengurus kartu kompensasi itu. mulai dari tingkat bawah sampai di tingkat atas sudah terjadi kongkalikong tanpa rasa kemanusiaan dan rasa malu. Mereka juga tidak pernah tahu jika kartu kompensasi yang seharusnya menjadi hak mereka, telah berpindah tangan kepada orang dekat para pengurus dan para pejabat, bahkan ada yang sampai memiliki 15 lembar kartu kompensasi sekaligus.
Suasana semakin tak terkendali. Saling sikut antara sesama orang miskin tidak dapat dihindari. Saling hujat antara si miskin dan para petugas tidak bisa dielakkan. Si miskin menghujat petugas karena merasa dianiaya, diperlakukan secara tidak adil. Sedangkan petugas balik menyalahkan si miskin dengan berbagai macam alasan. Suasana berubah menjadi kacau-balau. Hari itu, ribuan orang miskin tidak lagi kenal antara sesamanya orang miskin.
Mereka saling sikut, saling dorong, dan saling injak. Kekacauan berlangsung lama, dan baru reda setelah bantuan petugas datang dengan jumlah yang lebih banyak. Ya! Suasana kembali aman, dan si miskin memilih membubarkan diri satu persatu. Tetapi lihatlah! Di bawah garis hujan yang perlahan jatuh menikam bumi, ada seorang lelaki tua yang terbujur kaku, diam tak bergerak dengan senyum tipis di bibirnya yang pucat. Ada sebutir peluru lagi yang menyusup ke dalam tubuhnya, tanpa meninggalkan luka dan percikan darah. tetapi ia tetap tersenyum, walaupun terkesan dipaksakan***