bulan jatuh:
Telah kukawini gelap yang gagap, dengan seperangkat nyanyi yang sunyi di punggung malam yang sibuk menata awan dengan sisa air hujan kemarin. Angan melesat jauh ke jantung orbit berpencar di angkasa raya menimang-nimang kenangan tentang kau-aku yang pernah lebur dalam ciuman panjang dan menyelam bersama dalam lautan debar sembari menduga-duga kemana birahi bermuara kemana air mata berbicara kemana duka bersuara. Tubuhmu hilang!
Hati berpacu membilas rindu dengan mata air mimpi dibalik selimut kalbu yang mengabut. Buih-buih air dari kelopak mata melengkung tajam melukis potret lusuh perempuan berbaju biru dengan bekas peluru disela payudara sedang membentang senyuman hambar ke pucuk rembulan. Sebentar saja, sebelum rinai hujan turun menjuntai menghapus tiap sketsa wajahmu dengan ornamen kesedihan. Ada jalan tanpa ujung, rupanya ada juga kesedihan tak berujung.
Ketika malam melarut bersama sunyi yang kian abadi, ribuan janin kata tertawan di rahim puisi yang gerah, menyeruak laju dan menghentak: rupanya ia tak sabar meretas di lembar-lembar cahaya mengeja sepotong senja dan segenggam matahari. Tetapi, sekali lagi awan mengejan. Bukankah sudah kukatakan berulang-ulang jika puisiku sangat takut dengan hujan? ia serupa puteri malu yang hanya ingin mekar pada matamu.
Kau masih ingat pertemuan kita di lekuk pantai itu bukan? pada lengan air yang dilumuri buih, tubuhmu kutemukan pucat, menggigil, dan gerahammu beradu di bilik bibir yang bergetar hebat. Aku membawamu ketepian, menjulurkan secangkir teh hangat dan menawarkan sepotong senja yang sudah semakin menua. ” Tidak! aku hanya ingin air mata!” jawabmu. Dan ketika malam mulai ranum, kita sepakat bertukar kisah tentang sepasang merpati yang terluka.
Dari sanalah berawal sepenggal cerita yang tak selesai aku rangkum, dan dari sana pula berawal sebait puisi yang tak pernah bisa aku gubah menjadi kidung cinta seribu purnama. Janin puisiku berkali-kali mati di ujung belati, yang entah dari mana asalnya (barangkali saja hujan itu yang mengirimnya) ketika aku sibuk menyulam payung dari rontokan bulu-bulu sayapmu.
Kau adalah burung yang lupa jalan pulang. Terperangkap dalam sarang asmara yang mengharu-biru, dan terluka ketika sebuah peluru dari penembak jitu bersarang telat diantara payudaramu. Kau mengepak sayap, mencoba melesat pergi ketika sepotong bulan pucat tepat jatuh disampingmu: di ranting cemara. Kau tak bisa terbang kemana-mana. Bulan pucat itu, sesupa cermin dan memaksamu untuk menatap lekat bayangan sendiri. Bayangan merpati bersayap seribu, dan sayangnya di ujung sayap-sayap itu getah-getah duka menempel hebat.Tubuhmu hilang!
Di atas tilam, sepasang merpati yang terluka menggelar ritual penangkal bala kecewa. Atas nama bukan atas nama siapa, atas nama duka yang tak sanggup bersuara, atas nama luka yang tak sanggup berkata, kita mengukur setiap jengkal ramarama asmaradhana yang tersisa. Gemuruh debar membuat kita terjungkal dalam legian ciuman panjang. Dan mulai saat itu, sepasang merpati mematuk-matuk campuran liur dan air matanya sendiri.
Kelak, kisah ini akan kutulis di tujuh lembar pelangi: birahi yang gelisah
Rupanya: ciuman yang panjang dan lautan debar yang pernah kita arungi hanyalah sekutip kisah tak berwajah. Kau menjelma gapura dari air matamu sendiri, terpasung dalam ruang kesedihan yang membuncah, sedang aku memilih meringkuk dalam dekapan sunyi, sembari mencoba mencari bayangmu di kerak bumi, pun di puncak cakrawala. Kita sepasang merpati yang tertawan dalam penjara hati masing-masing. Tubuhmu benarbenar hilang, dinda!
Lalu:
Sunyi
Sepi meninggi
Abadi!
( disanalah aku sibuk mengutuki diri)
(Makassar 2011, bibir pantai losari yang pucat)
Telah kukawini gelap yang gagap, dengan seperangkat nyanyi yang sunyi di punggung malam yang sibuk menata awan dengan sisa air hujan kemarin. Angan melesat jauh ke jantung orbit berpencar di angkasa raya menimang-nimang kenangan tentang kau-aku yang pernah lebur dalam ciuman panjang dan menyelam bersama dalam lautan debar sembari menduga-duga kemana birahi bermuara kemana air mata berbicara kemana duka bersuara. Tubuhmu hilang!
Hati berpacu membilas rindu dengan mata air mimpi dibalik selimut kalbu yang mengabut. Buih-buih air dari kelopak mata melengkung tajam melukis potret lusuh perempuan berbaju biru dengan bekas peluru disela payudara sedang membentang senyuman hambar ke pucuk rembulan. Sebentar saja, sebelum rinai hujan turun menjuntai menghapus tiap sketsa wajahmu dengan ornamen kesedihan. Ada jalan tanpa ujung, rupanya ada juga kesedihan tak berujung.
Ketika malam melarut bersama sunyi yang kian abadi, ribuan janin kata tertawan di rahim puisi yang gerah, menyeruak laju dan menghentak: rupanya ia tak sabar meretas di lembar-lembar cahaya mengeja sepotong senja dan segenggam matahari. Tetapi, sekali lagi awan mengejan. Bukankah sudah kukatakan berulang-ulang jika puisiku sangat takut dengan hujan? ia serupa puteri malu yang hanya ingin mekar pada matamu.
Kau masih ingat pertemuan kita di lekuk pantai itu bukan? pada lengan air yang dilumuri buih, tubuhmu kutemukan pucat, menggigil, dan gerahammu beradu di bilik bibir yang bergetar hebat. Aku membawamu ketepian, menjulurkan secangkir teh hangat dan menawarkan sepotong senja yang sudah semakin menua. ” Tidak! aku hanya ingin air mata!” jawabmu. Dan ketika malam mulai ranum, kita sepakat bertukar kisah tentang sepasang merpati yang terluka.
Dari sanalah berawal sepenggal cerita yang tak selesai aku rangkum, dan dari sana pula berawal sebait puisi yang tak pernah bisa aku gubah menjadi kidung cinta seribu purnama. Janin puisiku berkali-kali mati di ujung belati, yang entah dari mana asalnya (barangkali saja hujan itu yang mengirimnya) ketika aku sibuk menyulam payung dari rontokan bulu-bulu sayapmu.
Kau adalah burung yang lupa jalan pulang. Terperangkap dalam sarang asmara yang mengharu-biru, dan terluka ketika sebuah peluru dari penembak jitu bersarang telat diantara payudaramu. Kau mengepak sayap, mencoba melesat pergi ketika sepotong bulan pucat tepat jatuh disampingmu: di ranting cemara. Kau tak bisa terbang kemana-mana. Bulan pucat itu, sesupa cermin dan memaksamu untuk menatap lekat bayangan sendiri. Bayangan merpati bersayap seribu, dan sayangnya di ujung sayap-sayap itu getah-getah duka menempel hebat.Tubuhmu hilang!
Di atas tilam, sepasang merpati yang terluka menggelar ritual penangkal bala kecewa. Atas nama bukan atas nama siapa, atas nama duka yang tak sanggup bersuara, atas nama luka yang tak sanggup berkata, kita mengukur setiap jengkal ramarama asmaradhana yang tersisa. Gemuruh debar membuat kita terjungkal dalam legian ciuman panjang. Dan mulai saat itu, sepasang merpati mematuk-matuk campuran liur dan air matanya sendiri.
Kelak, kisah ini akan kutulis di tujuh lembar pelangi: birahi yang gelisah
Rupanya: ciuman yang panjang dan lautan debar yang pernah kita arungi hanyalah sekutip kisah tak berwajah. Kau menjelma gapura dari air matamu sendiri, terpasung dalam ruang kesedihan yang membuncah, sedang aku memilih meringkuk dalam dekapan sunyi, sembari mencoba mencari bayangmu di kerak bumi, pun di puncak cakrawala. Kita sepasang merpati yang tertawan dalam penjara hati masing-masing. Tubuhmu benarbenar hilang, dinda!
Lalu:
Sunyi
Sepi meninggi
Abadi!
( disanalah aku sibuk mengutuki diri)
(Makassar 2011, bibir pantai losari yang pucat)