Minggu, 04 September 2011

Lautan Manusia, Lautan Sampah dan Lautan Doa

13151548501539162781
Rabu, 13 Agustus 2011, lapangan karebosi  Makassar menjelma menjadi lautan manusia. Ribuan umat muslim menyemut untuk merayakan lebaran Idulfitri 1432 H. Mereka berbondong-bondong mengenakan pakaian yang serba baru, baju baru, mukena baru, sajadah baru, sarung baru dan tak lupa membawa koran bekas yang akan mereka hamparkan di tanah sebagai alas duduk. Lalu, dengan khusyu mereka  mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid, mengagungkan kebesaran Allah. Mereka larut dalam sebuah pusaran spiritualitas yang dapat menghantarkan mereka lebih dekat  kepada Sang Pencipta. Tidak jarang air mata menetes ketika kumandang takbir menggema. Mereka larut dalam puncak perayaan hari kemenangan setelah sebulan  menahan diri dari apa yang diyakini dapat membatalkan puasa. Hari itu, mereka yakin kembali fitrah. Hari itu, mereka yakin kembali suci  lahir maupun batin. Bersih tiada ternoda, suci tiada terkira.

Sayang! ketika mereka selesai melaksanakan ritual penyucian diri, ketika mereka lebur dalam pesta kemenangan, mereka tiada sadar atau mungkin tiada peduli bahwasanya mereka telah meninggalkan sampah bagi orang lain. Ketika lautan manusia itu perlahan menyurut meninggalkan lapangan, maka yang tersisa hanyalah lautan sampah dari koran bekas atau pembungkus makanan. Koran-koran bekas yang dulu sangat berarti ketika masih baru, koran-koran bekas yang dulu menjadi rebutan setiap  terbit, kini harus rela diinjak-injak ribuan kaki orang-orang suci. Koran-koran bekas itu sepertinya harus tahu diri bahwasanya usia dan kegunaannya telah tamat! koran-koran bekas yang dulu banyak memberikan berita dan informasi, kini terlentang kaku dengan tubuh kian kusut terbungkus debu dan tanah. Koran-koran bekas itu merintih tiada berdaya menangisi nasib yang teramat menyedihkan. Dulu disuka, dulu berguna, dulu penting, tetapi sekarang malah diinjak-injak oleh orang-orang suci. Orang-orang yang selama satu bulan melatih diri menjadi manusia yang semakin bertakwa. Orang-orang yang telah berhasil melumpuhkan hawa nafsu dengan amalan-amalan Ramadhan.

Setelah lautan manusia benar-benar telah surut, muncullah sampah-sampah lain tertatih mengais lembaran koran-koran bekas. Ya! mereka adalah sampah masyarakat. Mereka sering dicibir dan dikucilkan. Mereka seperti semut menemukan tumpukan gula. Mereka menari-nari dengan tongkat pengais yang ujungnya dipasangi besi melengkung mirip seperti mata pancing. Dengan secapat kilat, sampah koran bekas itu berpindah dari tanah menuju tempat yang semestinya: karung gula bekas yang tergantung kokoh di pundak para pemulung. Koran-koran bekas itu meringkuk menahan pengap di dalam karung menunggu hari eksekusi. Koran-koran bekas itu akan menghadapi sebuah kenyataan pahit. Akan ditimbang, ditukar dengan beberapa lembar rupiah sebelum dihancurkan menjadi bubur kertas.

Meskipun para pemulung sangat membutuhkan tiap lembaran koran bekas itu, tetapi rupanya tidak semua koran bekas itu bisa diambil. Sebagian besar sudah sobek, bercerai-berai setelah diinjak ribuan kaki manusia. Sebagian lagi, telah bercampur debu atau tanah basah hingga warnanya persis warna gigi yang puluhan tahun bersetubuh dengan lintingan tembakau.Tampak jelas aura kesedihan diwajah-wajah para pemulung itu. Mereka kecewa karena ternyata sebagian besar koran bekas itu tidak dapat ditukar dengan rupiah. Para penadah hanya mau membeli koran bekas yang masih rapi tanpa sobekan atau kotoran. 

Hari itu, sebuah pemandangan serupa lukisan seorang maestro tersaji di depan mata. Lapangan yang semrawut dengan sampah koran bekas, pemulung dekil bertubuh ceking dengan kulit legam mengkilap akibat siraman matahari, tertatih merinti digilas gedung-gedung mewah diseberang jalan. Digilas kendaraan mewah yang lalu-lalang di jalan raya. digilas suara takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sampai tubuh mereka hanyut dilautan puji-pujian. Digilas oleh zaman, digilas oleh ribuan kaki manusia yang sedang mengenakan kopiah dan sajadah panjang yang menjuntai pada bahu. Mereka, para pemulung itu tidak sempat ikut larut dalam perayaan hari kemenangan. Mereka belum bisa mengenakan pakaian baru untuk mengikuti ritual penyucian diri. Mereka bahkan tiada sanggup menyuguhkan secangkir teh pahit atau sepotong singkong untuk para peziarah. Bagi mereka, hidup adalah memulung. Berhenti atau bersantai sejenak, nyawa terancam. Kelaparan tiada henti mengintip disela dinding gubuk mereka yang berjejer di tempat kumuh.
***
Di antara para pemulung itu, seorang bocah memakai tongkat ikut sibuk memilah Koran bekas yang masih layak untuk ditimbang. Namanya Juki. Ia adalah salah satu produk kaum marginal yang tersisihkan. Ayahnya, Pak Banu telah tewas digilas roda sedan setahun yang lalu ketika mereka sedang asyik menjajakan koran di perempatan tol Reformasi. Beruntung saat itu sisempat didorong oleh sang ayah ke bahu jalan. Meski demikian, sisi kiri mobil tetap sempat mengenai tubuhnya. Juki terjatuh, dan sebuah sepeda motor dari arah belakang menganggap betisnya sebagai jembatan penyebrangan. Kaki Juki patah, sedangkan Ayahnya tewas bersimbah darah dengan tubuh yang nyaris tanpa bentuk.

Sedang Ibu Juki, Bu Tati, sejak 2 tahun terkhir tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pensiun dini sebagai tukang cuci akibat penyakit batuk menahun. Kata petugas puskesmas, tubuh Bu Tati sedang digerogoti penyakit TBC. Ia disarankan untuk beristirahat sampai waktu yang tidak ditentukan. Ia harus merelakan pekerjaannya, berkeliling di komplek perumahan menawarkan jasa cuci kilat pakaian. Kini, penyakitnya semakin akut. Tak jarang jika Bu Tati batuk, ada cairan merah kehitam-hitaman ikut muncret bersama dahak. 

Sejak Ayahnya tewas dan Ibunya tidak dapat bekerja lagi, beban si Juki kian berat. Dengan kaki pincang, setiap pagi ia harus menjajakan Koran di lampu merah. Tetapi sayang! Tubuhnya tidak segesit lagi seperti dulu. Cacat yang dideritanya menjadi penghambat untuk menjual koran sebanyak-banyaknya. Ia tidak bisa leluasa menyelinap di antara kendaraan para pengguna jalan. Ia kalah gesit dengan anak sebayanya yang kebetulan berprofesi sama.

Untuk tetap bisa bertahan hidup, si Juki banting setir menjadi pemulung. Ia bergabung dengan puluhan pemulung lainnya mencari plastik dan kaleng bekas di tempat pembuangan sampah. Tidak jarang si Juki berjalan puluhan kilometer menenteng karung goni, menyusuri Pantai losari, mengendap-endap disela pengunjung demi mendapatkan botol-botol air mineral kosong dari para pengunjung itu. Hasilnya ternyata lumayan. Dua kali lebih banyak dibanding ketika ia menjajakan koran di lampu merah, meskipun jam kerja Juki sekarang bertambah. 

Dulu ketika Juki masih tercatat sebagai penghuni lampu merah, jam kerjanya hanya berkisar 3 jam. Bagi penjaja Koran seperti Juki, waktu produktif untuk memasarkan koran hanyalah di waktu pagi sampai menjelang siang. Saat itulah orang-orang yang haus berita akan membeli Koran. Selebihnya, siang sampai sore, hanya satu-dua pelanggan yang tetap membuka kaca mobil untuk membeli koran. Mungkin si bos yang duduk di samping sopir lagi jenuh dengan kemacetan, atau si bos tidak sempat membaca koran pagi akibat jadwal meeting yang memburu? Dari lampu merah itulah akhirnya si Juki tahu bahwa sesungguhnya berita di Koran-koran lebih cepat basi dibanding kue lapis. 

Setelah si Juki beralih profesi sebagai pemulung, jam terbangnya ikut membengkak. Bukan hanya itu, ia pun harus cerdik menemukan dan menggarap lahan baru. Naluri pemulungnya harus ia asah dengan tajam. Pagi adalah waktu yang tepat untuk menggarap perumahan. Siang, setelah istirahat sejenak, si Juki akan bergabung dengan pemulung lainnya di tempat pembuangan akhir. Saat siang mobil-mobil tongkang akan tiba dari berbagai penjuru kota membuang sampah serupa membuang hajat di tepian selokan. Lalu jika sore mulai mengendap, si Juki akan memisahkan diri menuju pantai Losari. Pengunjung pantai akan ramai diwaktu sore sampai malam hari. 

Khusus dalam bidang pekerjaan, si Juki telah mengajari kita berfikir secara tidak logis. Bocah cacat berusia 13 tahun bekerja sebagai pemulung tanpa mengenal waktu, dari pagi sampai malam sulit untuk diterima secara logika barangkali. Tetapi demikianlah kenyataannya. Juki telah menjelma menjadi bocah cacat yang tangguh. 

Bagi orang melarat seperti Juki, usia dan kondisi tubuh bukan menjadi alasan untuk tetap bertahan hidup. Pada saat bocah seusianya asyik bermain, pada saat bocah seusianya rutin menimba ilmu di bangku sekolah, si Juki harus bekerja semakin keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya hidup dan ongkos obat ibunya.

***

Saat bulan puasa tiba, Juki sempat kalang-kabut. Bagaimana tidak! Ternyata sampah di bulan puasa jarang ia temui. Mobil-mobil tongkang yang sering mengangkut sampah seakan ikut berpuasa. Jarang beroperasi. Perumahan-perumahan tampak sepi sepanjang hari. Begitupun di bibir pantai losari. Jika di bulan biasa akan dipadati pengunjung utamanya di waktu sore sampai malam hari, di bulan puasa akan terlihat lengang. Si Juki bingung mau ke mana untuk memulung.

Untunglah! Disaat si Juki sedang memeras otak mencari solusi, ia bersama pemulung lainnya mendapatkan sebuah ide. Maka, mulai diawal puasa sampai menjelang lebaran, si Juki kembali berganti profesi dari pemulung menjadi penjaga sandal para jamaah masjid yang sedang melakukan shalat tarawih. Si Juki bersama beberapa temannya sibuk menawarkan jasa kepada para jamaah masjid untuk menjaga sandal atau sepatu mereka dengan imbalan seadanya. 

Tetapi pekerjaan itu tidak berlangsung lama. Di minggu terakhir di bulan puasa, masjid sudah mulai tampak sepi. Orderan si Juki pun ikutan sepi. Walaupun ada saja jamaah masjid yang menyodorkan uang tanpa harus menjaga sandal mereka, tetapi dengan tegas si Juki menolak.
“Maaf, Pak! Kami bukan pengemis. Kami bukan peminta-minta! Walaupun miskin, kami tidak mau menerima pemberian uang tanpa sebab. Jika mau sedekah, masukkan saja uang Bapak di kotak amal itu…”

***

Demikianlah hidup terus berlanjut dengan kadar keberuntungan yang berbeda-beda. Di hari lebaran tahun ini, manakala manusia menyemut merayakan hari kemenangan, manakala manusia meneteskan air mata kebahagian karena berhasil melalui bulan puasa tanpa cela, manakala manusia larut dalam pesta, tawa, suka dan bahagia, si Juki dan mungkin ribuan bocah seusianya ikut meneteskan air mata. Entah itu air mata bahagia, entah itu air mata kesedihan karena mulai di hari lebaran itu, si Juki kembali resmi menyandang gelar sebagai pemulung. 

Si Juki tidak memilih tempat pembuangan akhir, kompleks perumahan atau tepian pantai losari sebagai lahan hari itu. Ia bersama puluhan pemulung lainnya memilih lapangan Karebosi sebagai tempat memulung. Sebagai bekas penjaja koran, si Juki tahu persis berapa harga koran bekas setiap kilo di pasaran. Ia yakin bisa mengumpulkan rupiah yang banyak di hari lebaran tahun ini. Ia butuh uang banyak untuk membeli obat. 

Apalagi, keadaan Ibu Juki semakin parah sejak seminggu yang lalu. Batuk ibunya semakin menjadi-jadi. Di dalam hati, diam-diam si Juki menyimpan keinginan yang lain. Sebentar sore, jika ia sudah menjual Koran bekas itu, ia tidak hanya berencana membeli obat untuk ibunya. Si Juki ingin menghadiahkan selembar sarung dan baju baru untuk ibunya. Jika cukup, si Juki juga akan membeli beberapa bungkus biskuit atau kue kering. Ia akan mengundang temannya sesama pemulung untuk merayakan hari lebaran.
Menjelang sore, si Juki menuju pulang ke gubuknya. Ia tampak puas hari itu. Ia bersiul-siul menuju gubuk sambil menenteng kantong keresek berisi obat, baju, sarung dan kue kering untuk ibunya. 

“Bu! Juki pulang…!”
“Bu! Juki bawah hadiah untuk ibu…!”
Si Juki tiada henti berteriak memanggil ibunya dan berubah menjadi histeris ketika ia menemukan ibunya sudah terbujur kaku di atas ranjang dengan darah yang sudah mulai mengering di sudut bibirnya. Si Juki perlahan bersimpuh dengan buraian air mata, meletupkan ribuan doa ke angkasa raya berharap ibunya turut merayakan lebaran di surga. Semantara si Juki akan melanjutkan hidup sebagai pemulung. Membersihkan sampah yang kadang berserakan di depan mata kita. Maukah kita membantu si Juki membersihkan sampah-sampah itu? atau setidak-tidaknya membersihkan sampah yang mungkin mulai bertunas dalam hati kita?***