Rabu, 13 Agustus 2011, lapangan
karebosi Makassar menjelma menjadi lautan manusia. Ribuan umat muslim
menyemut untuk merayakan lebaran Idulfitri 1432 H. Mereka
berbondong-bondong mengenakan pakaian yang serba baru, baju baru, mukena
baru, sajadah baru, sarung baru dan tak lupa membawa koran bekas yang
akan mereka hamparkan di tanah sebagai alas duduk. Lalu, dengan khusyu
mereka mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid,
mengagungkan kebesaran Allah. Mereka larut dalam sebuah pusaran
spiritualitas yang dapat menghantarkan mereka lebih dekat kepada Sang
Pencipta. Tidak jarang air mata menetes ketika kumandang takbir
menggema. Mereka larut dalam puncak perayaan hari kemenangan setelah
sebulan menahan diri dari apa yang diyakini dapat membatalkan puasa.
Hari itu, mereka yakin kembali fitrah. Hari itu, mereka yakin kembali
suci lahir maupun batin. Bersih tiada ternoda, suci tiada terkira.
Sayang! ketika
mereka selesai melaksanakan ritual penyucian diri, ketika mereka lebur
dalam pesta kemenangan, mereka tiada sadar atau mungkin tiada peduli
bahwasanya mereka telah meninggalkan sampah bagi orang lain. Ketika
lautan manusia itu perlahan menyurut meninggalkan lapangan, maka yang
tersisa hanyalah lautan sampah dari koran bekas atau pembungkus makanan.
Koran-koran bekas yang dulu sangat berarti ketika masih baru,
koran-koran bekas yang dulu menjadi rebutan setiap terbit, kini harus
rela diinjak-injak ribuan kaki orang-orang suci. Koran-koran bekas itu
sepertinya harus tahu diri bahwasanya usia dan kegunaannya telah tamat!
koran-koran bekas yang dulu banyak memberikan berita dan informasi, kini
terlentang kaku dengan tubuh kian kusut terbungkus debu dan tanah.
Koran-koran bekas itu merintih tiada berdaya menangisi nasib yang
teramat menyedihkan. Dulu disuka, dulu berguna, dulu penting, tetapi
sekarang malah diinjak-injak oleh orang-orang suci. Orang-orang yang
selama satu bulan melatih diri menjadi manusia yang semakin bertakwa.
Orang-orang yang telah berhasil melumpuhkan hawa nafsu dengan
amalan-amalan Ramadhan.
Setelah lautan
manusia benar-benar telah surut, muncullah sampah-sampah lain tertatih
mengais lembaran koran-koran bekas. Ya! mereka adalah sampah masyarakat.
Mereka sering dicibir dan dikucilkan. Mereka seperti semut menemukan
tumpukan gula. Mereka menari-nari dengan tongkat pengais yang ujungnya
dipasangi besi melengkung mirip seperti mata pancing. Dengan secapat
kilat, sampah koran bekas itu berpindah dari tanah menuju tempat yang
semestinya: karung gula bekas yang tergantung kokoh di pundak para
pemulung. Koran-koran bekas itu meringkuk menahan pengap di dalam karung
menunggu hari eksekusi. Koran-koran bekas itu akan menghadapi sebuah
kenyataan pahit. Akan ditimbang, ditukar dengan beberapa lembar rupiah
sebelum dihancurkan menjadi bubur kertas.
Meskipun para
pemulung sangat membutuhkan tiap lembaran koran bekas itu, tetapi
rupanya tidak semua koran bekas itu bisa diambil. Sebagian besar sudah
sobek, bercerai-berai setelah diinjak ribuan kaki manusia. Sebagian
lagi, telah bercampur debu atau tanah basah hingga warnanya persis warna
gigi yang puluhan tahun bersetubuh dengan lintingan tembakau.Tampak
jelas aura kesedihan diwajah-wajah para pemulung itu. Mereka kecewa
karena ternyata sebagian besar koran bekas itu tidak dapat ditukar
dengan rupiah. Para penadah hanya mau membeli koran bekas yang masih
rapi tanpa sobekan atau kotoran.
Hari itu,
sebuah pemandangan serupa lukisan seorang maestro tersaji di depan mata.
Lapangan yang semrawut dengan sampah koran bekas, pemulung dekil
bertubuh ceking dengan kulit legam mengkilap akibat siraman matahari,
tertatih merinti digilas gedung-gedung mewah diseberang jalan. Digilas
kendaraan mewah yang lalu-lalang di jalan raya. digilas suara takbir, tahlil, tasbih
dan tahmid sampai tubuh mereka hanyut dilautan puji-pujian. Digilas
oleh zaman, digilas oleh ribuan kaki manusia yang sedang mengenakan
kopiah dan sajadah panjang yang menjuntai pada bahu. Mereka, para
pemulung itu tidak sempat ikut larut dalam perayaan hari kemenangan.
Mereka belum bisa mengenakan pakaian baru untuk mengikuti ritual
penyucian diri. Mereka bahkan tiada sanggup menyuguhkan secangkir teh
pahit atau sepotong singkong untuk para peziarah. Bagi mereka, hidup
adalah memulung. Berhenti atau bersantai sejenak, nyawa terancam.
Kelaparan tiada henti mengintip disela dinding gubuk mereka yang
berjejer di tempat kumuh.
***
Di
antara para pemulung itu, seorang bocah memakai tongkat ikut sibuk
memilah Koran bekas yang masih layak untuk ditimbang. Namanya Juki. Ia
adalah salah satu produk kaum marginal yang tersisihkan. Ayahnya, Pak
Banu telah tewas digilas roda sedan setahun yang lalu ketika mereka
sedang asyik menjajakan koran di perempatan tol Reformasi. Beruntung
saat itu sisempat didorong oleh sang ayah ke bahu jalan. Meski demikian,
sisi kiri mobil tetap sempat mengenai tubuhnya. Juki terjatuh, dan
sebuah sepeda motor dari arah belakang menganggap betisnya sebagai
jembatan penyebrangan. Kaki Juki patah, sedangkan Ayahnya tewas
bersimbah darah dengan tubuh yang nyaris tanpa bentuk.
Sedang
Ibu Juki, Bu Tati, sejak 2 tahun terkhir tidak bisa berbuat apa-apa. Ia
pensiun dini sebagai tukang cuci akibat penyakit batuk menahun. Kata
petugas puskesmas, tubuh Bu Tati sedang digerogoti penyakit
TBC. Ia disarankan untuk beristirahat sampai waktu yang tidak
ditentukan. Ia harus merelakan pekerjaannya, berkeliling di komplek
perumahan menawarkan jasa cuci kilat pakaian. Kini, penyakitnya semakin
akut. Tak jarang jika Bu Tati batuk, ada cairan merah kehitam-hitaman
ikut muncret bersama dahak.
Sejak
Ayahnya tewas dan Ibunya tidak dapat bekerja lagi, beban si Juki kian
berat. Dengan kaki pincang, setiap pagi ia harus menjajakan Koran di
lampu merah. Tetapi sayang! Tubuhnya tidak segesit lagi seperti dulu.
Cacat yang dideritanya menjadi penghambat untuk menjual koran
sebanyak-banyaknya. Ia tidak bisa leluasa menyelinap di antara kendaraan
para pengguna jalan. Ia kalah gesit dengan anak sebayanya yang
kebetulan berprofesi sama.
Untuk
tetap bisa bertahan hidup, si Juki banting setir menjadi pemulung. Ia
bergabung dengan puluhan pemulung lainnya mencari plastik dan kaleng
bekas di tempat pembuangan sampah. Tidak jarang si Juki berjalan puluhan
kilometer menenteng karung goni, menyusuri Pantai losari,
mengendap-endap disela pengunjung demi mendapatkan botol-botol air
mineral kosong dari para pengunjung itu. Hasilnya ternyata lumayan. Dua
kali lebih banyak dibanding ketika ia menjajakan koran di lampu merah,
meskipun jam kerja Juki sekarang bertambah.
Dulu
ketika Juki masih tercatat sebagai penghuni lampu merah, jam kerjanya
hanya berkisar 3 jam. Bagi penjaja Koran seperti Juki, waktu produktif untuk
memasarkan koran hanyalah di waktu pagi sampai menjelang siang. Saat
itulah orang-orang yang haus berita akan membeli Koran. Selebihnya,
siang sampai sore, hanya satu-dua pelanggan yang tetap membuka kaca
mobil untuk membeli koran. Mungkin si bos yang duduk di samping sopir
lagi jenuh dengan kemacetan, atau si bos tidak sempat membaca koran pagi
akibat jadwal meeting yang memburu? Dari lampu merah itulah akhirnya si
Juki tahu bahwa sesungguhnya berita di Koran-koran lebih cepat basi
dibanding kue lapis.
Setelah
si Juki beralih profesi sebagai pemulung, jam terbangnya ikut
membengkak. Bukan hanya itu, ia pun harus cerdik menemukan dan menggarap
lahan baru. Naluri pemulungnya harus ia asah dengan tajam. Pagi adalah
waktu yang tepat untuk menggarap perumahan. Siang, setelah istirahat
sejenak, si Juki akan bergabung dengan pemulung lainnya di tempat
pembuangan akhir. Saat siang mobil-mobil tongkang akan tiba dari
berbagai penjuru kota membuang sampah serupa membuang hajat di tepian
selokan. Lalu jika sore mulai mengendap, si Juki akan memisahkan diri
menuju pantai Losari. Pengunjung pantai akan ramai diwaktu sore sampai
malam hari.
Khusus
dalam bidang pekerjaan, si Juki telah mengajari kita berfikir secara
tidak logis. Bocah cacat berusia 13 tahun bekerja sebagai pemulung tanpa
mengenal waktu, dari pagi sampai malam sulit untuk diterima secara
logika barangkali. Tetapi demikianlah kenyataannya. Juki telah menjelma
menjadi bocah cacat yang tangguh.
Bagi
orang melarat seperti Juki, usia dan kondisi tubuh bukan menjadi alasan
untuk tetap bertahan hidup. Pada saat bocah seusianya asyik bermain,
pada saat bocah seusianya rutin menimba ilmu di bangku sekolah, si Juki
harus bekerja semakin keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya
hidup dan ongkos obat ibunya.
***
Saat
bulan puasa tiba, Juki sempat kalang-kabut. Bagaimana tidak! Ternyata
sampah di bulan puasa jarang ia temui. Mobil-mobil tongkang yang sering
mengangkut sampah seakan ikut berpuasa. Jarang beroperasi.
Perumahan-perumahan tampak sepi sepanjang hari. Begitupun di bibir
pantai losari. Jika di bulan biasa akan dipadati pengunjung utamanya di
waktu sore sampai malam hari, di bulan puasa akan terlihat lengang. Si
Juki bingung mau ke mana untuk memulung.
Untunglah!
Disaat si Juki sedang memeras otak mencari solusi, ia bersama pemulung
lainnya mendapatkan sebuah ide. Maka, mulai diawal puasa sampai
menjelang lebaran, si Juki kembali berganti profesi dari pemulung
menjadi penjaga sandal para jamaah masjid yang sedang melakukan shalat
tarawih. Si Juki bersama beberapa temannya sibuk menawarkan jasa kepada
para jamaah masjid untuk menjaga sandal atau sepatu mereka dengan
imbalan seadanya.
Tetapi
pekerjaan itu tidak berlangsung lama. Di minggu terakhir di bulan
puasa, masjid sudah mulai tampak sepi. Orderan si Juki pun ikutan sepi.
Walaupun ada saja jamaah masjid yang menyodorkan uang tanpa harus
menjaga sandal mereka, tetapi dengan tegas si Juki menolak.
“Maaf,
Pak! Kami bukan pengemis. Kami bukan peminta-minta! Walaupun miskin,
kami tidak mau menerima pemberian uang tanpa sebab. Jika mau sedekah,
masukkan saja uang Bapak di kotak amal itu…”
***
Demikianlah
hidup terus berlanjut dengan kadar keberuntungan yang berbeda-beda. Di
hari lebaran tahun ini, manakala manusia menyemut merayakan hari
kemenangan, manakala manusia meneteskan air mata kebahagian karena
berhasil melalui bulan puasa tanpa cela, manakala manusia larut dalam
pesta, tawa, suka dan bahagia, si Juki dan mungkin ribuan bocah
seusianya ikut meneteskan air mata. Entah itu air mata bahagia, entah
itu air mata kesedihan karena mulai di hari lebaran itu, si Juki kembali
resmi menyandang gelar sebagai pemulung.
Si
Juki tidak memilih tempat pembuangan akhir, kompleks perumahan atau
tepian pantai losari sebagai lahan hari itu. Ia bersama puluhan pemulung
lainnya memilih lapangan Karebosi sebagai tempat memulung. Sebagai
bekas penjaja koran, si Juki tahu persis berapa harga koran bekas setiap
kilo di pasaran. Ia yakin bisa mengumpulkan rupiah yang banyak di hari
lebaran tahun ini. Ia butuh uang banyak untuk membeli obat.
Apalagi,
keadaan Ibu Juki semakin parah sejak seminggu yang lalu. Batuk ibunya
semakin menjadi-jadi. Di dalam hati, diam-diam si Juki menyimpan
keinginan yang lain. Sebentar sore, jika ia sudah menjual Koran bekas
itu, ia tidak hanya berencana membeli obat untuk ibunya. Si Juki ingin
menghadiahkan selembar sarung dan baju baru untuk ibunya. Jika cukup, si
Juki juga akan membeli beberapa bungkus biskuit atau kue kering. Ia
akan mengundang temannya sesama pemulung untuk merayakan hari lebaran.
Menjelang
sore, si Juki menuju pulang ke gubuknya. Ia tampak puas hari itu. Ia
bersiul-siul menuju gubuk sambil menenteng kantong keresek berisi obat,
baju, sarung dan kue kering untuk ibunya.
“Bu! Juki pulang…!”
“Bu! Juki bawah hadiah untuk ibu…!”
Si
Juki tiada henti berteriak memanggil ibunya dan berubah menjadi
histeris ketika ia menemukan ibunya sudah terbujur kaku di atas ranjang
dengan darah yang sudah mulai mengering di sudut bibirnya. Si Juki
perlahan bersimpuh dengan buraian air mata, meletupkan ribuan doa ke
angkasa raya berharap ibunya turut merayakan lebaran di surga. Semantara
si Juki akan melanjutkan hidup sebagai pemulung. Membersihkan sampah
yang kadang berserakan di depan mata kita. Maukah kita membantu si Juki
membersihkan sampah-sampah itu? atau setidak-tidaknya membersihkan
sampah yang mungkin mulai bertunas dalam hati kita?***