kau menyusup masuk
pada aliran darahku
ketika daun pintu hatiku tidak terkunci
kau menyibak tirai
dan mencungkil paksa kamar getarku
ketika aku terlelap dibuai mimpi
kurasakan ada serupa ular
menari-nari di puting payudaraku
lalu mencabuti bulu-bulu kemaluanku
mematuk-matuk dinding rahim
dengan bisa yang teramat amis
menyusuplah sesuka hatimu
keluar masuklah ke dinding jantungku
sapalah tiap bagian tubuhku,
tandailah dengan patukanmu
tetapi jangan pernah mencari jalan pulang
apalagi berniat kabur sekehendak hatimu
kau harus bertanggung jawab
atas luka yang kau toreh
hingga air mataku menggenangi
kapas-kapas bantal yang putih pucat
atau kau ingin memaksaku menjadi
: pembunuh seekor olar?
[Bulukumba, Mei 2008]