Jumat, 19 Agustus 2011

KEMATIAN YANG SEMPURNA

(I).
Selarik sajak melompat dari mimpi buruk: menjelma burung hantu yang sibuk mematuk tanah dan terus menatapku. Isyarat kematianku telah tercatat di tujuh lembar kain kafan, berkibar-kibar serupa bendera pada rusuk sejarah yang mulai gerah. Inginnya aku mencari sisa-sisa air liurku di rona bibirmu, tetapi waktu bergegas pergi dan burung hantu itu melesat tajam kearahku dengan patuk seruncing mata pisau. Apakah kau tak ingin tahu kelanjutan cerita penyadap getah cinta yang dicakar dan dipatuki burung hantu di ulu hati, sayangku?
(2)
Kita sepasang burung yang bertengger di ranting rapuh. Kemarau mengirim terik dan angin terlampau sigap menghempaskan kita ke semak belukar. Oh, bukan. hanya aku rupanya. Sedang kau, berhasil terbang dalam dekapan rajawali berbulu domba. Di semak itu, kusaksikan tubuhmu melayang-layang melambaikan tangan sambil meludah. Langit seketika hitam dan kisah kita terhenti dipisahkan rajawali dan tabir malam yang legam. Kau meninggalkan seekor burung jantan yang dikepung ribuan hewan purba. Dan kurasakan tubuhku remuk dalam lilitan dinosaurus, sebelum terpelanting jatuh di kerak bumi. Rupanya beginilah kuburan bagi tawanan asmara yang kalah. Liat dan amis serupa sisa akhir ciuman kita di dalam sarang tempo hari. Aku mayat dengan kubur tanpa nisan, telanjang tanpa kafan. Musim mengirimkan selembar daun khuldi tanpa doa belasungkawa. Seekor anjing melolong panjang, dan kupastikan sedang mengutuki diriku menjadi batu. Begitu dasyatnya perjalanan kematianku, sayangku. Sampai-sampai aku tak punya waktu untuk mengingat tanda yang pernah kupahat di leher jenjangmu, pun di telapak kakimu.
(3)
Di dalam kubur, ruhku meronta-ronta mencari sela. Aku merasa  kematianku belum sempurna. Kemana rajawali itu membawamu pergi? Jangan-jangan kalian lupa jalan pulang setelah beranak-pinak di gundukan awan. Aku kalah. Tetapi aku masih ingin mencari serpihan jerami sarang kita dahulu. Barangkali saja, kau pernah melintas lalu sekali lagi meludah pada serpihan itu. Akan kubakar serpihan jerami dan ludahmu itu, biar bendera hanya menyisahkan satu warna. Putih serupa cinta dan tulang-belulangku, berkibar-kibar pada rusuk sejarah cinta kita yang benar-benar sudah gerah. Kematianku akan sempurna, meski tanpa taburan bunga kamboja dan sekutip air mata, sayangku. Sedangkan kau, tetaplah mematuk bulan, dan menjelmalah menjadi rajawali betina berbulu rusa. Inginku!
[Mks-Kendari, Awal Maret 2007]