(I)
Sepi menyusui kenangan. Waktu menyisahkan labirin senyap dan pekat. Di penghujung musim, iklim turun menggigil dingin, dan hujan terlampau tajam bagi asmara yang rabun. Aku tawanan terperangkap dalam penjara hati yang lindap dan basah, terkatungkatung mengutuk gemuruh menjadi salju pun jadi batu. Gemuruh menjelma hujan pisau tajam, sedang aku tak punya waktu untuh berteduh. Aku terbunuh di akhir gemuruh, saat rindu mencoba mengeja tiap lembar kenangan tentangmu.
(2)
Aku mayat ditolak kubur. Gentayangan mengabarkan duka mengobarkan luka. Kubayangkan sosokmu telanjang di tepi ranjang meminang sisa gerit setubuh di puncak subuh, tapi kunangkunang ajal terlampau gesit berlari mengibarkan bendera kematian di lindap jalan rinduku yang melepuh biru. Rindu yang melancip serupa puting payudaramu yang tak selesai kulukis pada dinding kelabu . Kau-aku di takdirkan hidup dalam sekat berbeda pekat.
Sungguh cinta awalnya duka. Memahat lambang kesepian di kerut keningku. “Mengapa kau ikut gesit berlari, sayangku, bukankah tunas-tunas sajakku sudah kurimbunkan dalam getar hatimu? “ serupa kijang tubuhmu melesat ke puncak Turzina, membawa ribuan busur panah. “Ayo, bidik baik-baik kearah jantungku yang sudah bernanah!” nyawaku tinggal setitik liar liur. Betapa ingin keteguk hambar kesedihan yang menetes dalam piala duka nganga, sebelum lidah kenangan datang menjilati sisa gerit ranjang dan lepuh keringat kita yang perlahan menghilang, perlahan mengering terbasuh waktu yang tertatih merintih.
(3)
Sungguh! Ingin kukecup kembali payudaramu, tetapi aku hanyalah selembar daun yang luruh ditiup angin, tak kuasa menggaris sajak manis di sela selangkanganmu. Aku lapuk pada jejak kaki yang tertoleh di lindap setapak, dan musim begitu abadi menghunjamkan hujan. Jubah hitam awan di langit sana membentang serupa kenangan. Legam mengilat, merambat harap. Didih letih, menuai risau hati.
(4)
Wujudku melepuh. Kurasakan ada kalajengking yang merayap dalam aliran darahku. Di depan sana, seekor burung hantu tak henti mematuk tanah. Matanya merah zaga serupa darah yang berceceran di ujung tenggorokanku. Ngeri menjuntai. Zakaratul menari. Aku hendak lari tetapi gelap tak juga pergi. Sekali lagi, aku terbunuh. Jiwaku kekal mengabarkan duka ke pelosok desa ke sudut kota. Ruhku terpasung dalam kekangan kenangan, ditusuki mata sembilu. Jika ada yang ingin tahu betapa nikmatnya luka ini, kemarilah! Akan kuhamburkan pahit lindu dalam mulutmu, akan kupercikkan air mata bercampur darah di sekujur tubuhmu, hingga kau membatu dilempengan duka nganga. Serupa dukaku!
[Kendari, April 2007]