Langkah Ayah lunglai meninggalkan tempat pengungsian. Tersendat-sendat serupa kijang yang baru saja tertembus peluru para pemburu di pangkal paha atau betis. Tidak tegap lagi seperti dulu ketika ia dengan gagah perkasa melangkah bak seorang serdadu. Tegap dan lincah.
Kurang lebih setengah jam yang lalu, Ayah sempat mengatakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk pergi.
“Aku yakin, kau pemuda tabah dan tangguh. Sudah sebulan kita lalui hari dengan air mata, meratap bersama-sama. Itu sudah cukup. Tidak usah diteruskan. Kita sudah berusaha untuk menemukan ibumu dan adikmu, tetapi mereka seperti ditelan bumi. Sama sekali tak ada tanda yang mereka simpan, meski jejak kaki di lintas tualang, di lindap jalan. Sudahlah. Mungkin mereka sudah bersenda gurau di surga sana. Mari kita lanjutkan hidup sebagai laki-laki tangguh yang tak butuh air mata.”
Laki-laki tangguh? Ah, Ayah pasti sedang bergurau dan mencoba membohongiku. Sorot matanya mengatakan itu. Tak kutemukan lagi tatapan elang yang tajam menikam. Bola mata Ayah sudah berubah serupa nyala lilin yang mulai meredup. Layu dan nyaris padam. Nada suaranya datar, bahkan lirih. Sama sekali tak mengandung tekanan. Tak kudengar lagi suara Ayah yang serupa halilintar menyambar-nyambar, membuat nyali kepincut dan tubuh terasa menyelam di lautan getar seperti dulu. Semuanya seketika berubah. Sirna, ikut hanyut atau mungkin ikut tertimbun tanah.
“Ayah akan berangkat subuh ini, sebelum orang lain terjaga. Sebelum orang lain sibuk menakar nasib sendiri-sendiri. Sebelum orang lain sigap mengatur nafas dan siap bermandi keringat. Ayah yakin, kau bukan pecundang. Ubahlah nasibmu. Jangan biarkan nasib mengolok-olokmu, apalagi sampai menghinamu. Luluh lantahkan gundukan nasib itu dengan tangan kekarmu. Bidik baik-baik tangkai nasib itu, dan paksa terjatuh dengan busur panahmu. Ingat, jangan pernah menangis lagi. Kita tidak butuh lagi air mata, apalagi untuk menangisi diri sendiri.”
Aku tak kuasa menahan haru. Seluruh persendianku terasa ngilu dan kali ini aku kembali menyelami lautan getar. Kedua tangan yang kutekuk ke belakang, perlahan lurus dan mengepal. Ribuan janin kata tak mampu menjadi suara. Lidahku seketika kaku. Rahangku membatu.
“Maaf, jika seandainya kau menganggap Ayah sebagai orang tua yang gagal. Orang tua yang tega melihat anaknya bermandi keringat dan air mata setiap hari. Orang tua yang tak bisa menyajikan menu bahagia di atas meja makan. Orang tua yang tak bisa mengajakmu merasakan bagaimana hangatnya meringkuk dalam lipatan selimut. Orang tua yang tidak mengajarkan apapun kepadamu, meski hanya untuk sekedar bermimpi.”
Sama sekali tak ada sentuhan apalagi pelukan dari Ayah, padahal kami tahu sebentar lagi kami akan berpisah tanpa ada garansi waktu. Seminggu, Sebulan, setahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun, atau mungkin saja kami akan berpisah untuk selamanya. Aku hanya bisa tertunduk, tak kuasa menatap bola mata ayah yang sedari tadi berusaha menahan tanggul di belakang kelopak matanya jangan sampai jebol. Aku tahu itu Ayah.
Ketika wajahku perlahan menegadah, Ayah sudah melangkah kearah utara. Ayah pergi membawa tanggul air mata yang kupastikan sebentar lagi akan jebol. Ayah pergi membawa kerut dan keriput yang menjalar hampir pada seluruh bagian tubuhnya. Ayah pergi membawa bau sengatan matahari, yang sudah melekat erat disekujur tubuhnya, dan tak dapat dihapus dengan zat apa pun. Bau sengatan matahari itu bercampur dengan aroma busa tuak dan sudah menyerap ke dalam daging, dan terbawa darah ke segala arah.
Begitu sadar, Ayah sudah menjauh. Kulihat punggungnya yang sudah sedikit melengkung, sebentar lagi akan menghilang di tikungan jalan. Ayah tak pernah menoleh sekalipun. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya memanggil Ayah, tetapi mulutku terkatup rapat dan kaku. Rasanya aku ingin berlari sekencang-kencangnya, menerobos gundukan tanah liat dan puting pagi yang masih ranum, tetapi sepasang kakiku terasa terpasung kedalam tanah di samping tenda.
Lama aku terpaku sebelum kuputuskan untuk kembali masuk ke dalam tenda. Sepi seketika membayang, dan perlahan-lahan mulai menyergapku. Selepas kepergian Ayah baru saja, aku merasa seorang diri di dunia ini. Sebatang kara terlunta-lunta di gurun sahara menahan dahaga. Yatim-piatu berbalut kabut dan berpayung langit yang selamanya mendung. Kepergian Ayah membuat aku merasa sangat kehilangan. Kehilangan tempat berbagi duka dan air mata. Kehilangan tempat mengadu dan mengeluh. Kehilangan yang membuat aku terpuruk di kerak bumi paling dalam. Meringkuk di dalam tenda pengungsian, sambil menakar nyawa yang masih tersisa.
Betul kata Ayah, jika sekarang bukan saatnya untuk menangis. Air mata tidak akan membuat segalanya lebih baik. Bahkan, air mata kadang menghanyutkan tubuh ke muara sedih yang tak berujung. Tapi mau bagaimana lagi? Sejak aku kehilangan Ibu dan adik perempuanku, menangis adalah jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan, setelah lelah mencari mereka. Setiap hari, aku menunggu kabar dari segala penjuru mata angin. Adakah yang pernah berpapasan dengan Rabiah? Perempuan setengah baya dari Desa Balleanging, penjual tuak di kaki gunung Bulusaraung? Adakah yang pernah melihat Sumirah? gadis kecil berusia enam tahun yang gagap dan sekujur tubuhnya nyaris ditumbuhi kudis? Gadis kecil itu selalu memakai kalung batu.
Kalaupun mereka sudah menjadi mayat, tak mengapa. Kalaupun mereka tinggal rangkaian tulang-belulang yang sudah berserakan di sepanjang jalan, menjadi santapan anjing atau cacing, tak mengapa.Kalaupun tubuh mereka sudah tak terbentuk, tersangkut di tepi sungai atau tertimbun dalam lumpur, tak mengapa. Atau sekedar sobekan pakaian terakhir yang mereka kenakan, sebelum tanah longsor dan banjir bandang datang menyantap lahap Desa kami. Aku hanya ingin memastikan dan ingin memberikan pelukan terakhir sebelum tubuh mereka menyatu dengan mayat yang baru ditemukan masuk dan ditimbun di lubang yang sama.
“Akh, seperti halnya pelacur, ternyata kubur juga sudah menjadi milik bersama. Satu lubang ramai-ramai.”
Aku hanya ingin mereka mempunyai kubur, biar aku bisa menabur bunga kenanga diatas pusara mereka sambil meletupkan doa-doa ke angkara raya yang berkabut duka. Aku ingin menjadi seorang peziarah. Peziarah bagi Ibu dan adiknya.
Aku merasa semakin sepi sepeninggal Ayah. Walaupun, ada ratusan atau mungkin ribuan orang lain yang senasib denganku: sama-sama gelisah, sama-sama mencari orang tua dan saudara, sama-sama meratap dalam tenda, sama-sama menakar nyawa masing-masing yang masih tersisa. Sedangkan Ayah, sudah memutuskan untuk mencari sepasang perempuan yang selama ini menjadi permata hidupnya. Aku tentu saja tak bisa melarangnya sekaligus tak bisa mengikutinya meski keinginan itu tetap ada. Menurut Ayah, aku lebih aman tinggal di dalam tenda pengungsian, melalap tiap bungkusan yang jatuh dari pesawat yang akhir-akhir ini kerap datang dan meliuk-liuk diatas Desa yang sudah menjelma menjadi kubangan lumpur.
Sepi menyusui kenangan. Pagi yang sudah menua tak juga mampu membuatku bergesar dari sisi kanan tenda. Aku sudah teramat bosan menatap satu-satu wajah-wajah di luar sana, di mana raut muka mereka seragam terbalut awan yang mendung. Tak terkecuali para relawan dan tentara yang kelihatannya sudah jenuh mencium aroma mayat dan bau lumpur serupa bau keringat tubuh kami yang sudah membentuk lempengan daki akibat jarang mandi.
***
Seminggu sebelum tanah longsor dan banjir bandang memporak-porandakan Desa kami, sebuah kejadian serupa firasat sempat datang. Waktu itu, tidak biasanya Ayah menyambutku di mulut gubuk dengan raut muka pias tanpa senyuman. Tidak seperti biasanya, setiap aku pulang dari kedai tuak di kaki gunung, Ayah begitu sumringah lalu menepuk-nepuk pundakku.
”Bagaimana hari ini anak pamabuk? Apakah pelanggan puas dengan hasil sadapanku?”
Tetapi kali ini, cara penyambutan Ayah sangat berbeda dari biasanya.
“Sahir!” panggil Ayah.
“Iya, Ayah.” Aku menatap lekat bola mata Ayah dengan seribu tanda Tanya. Ada apa gerangan?.
“Ayah akan mewariskan sesuatu kepadamu! Ikutlah!”
Jantungku kencang berdegup. Langit mulai redup. Aku mengikuti langkah Ayah memasuki gubuk, lalu kami duduk saling berhadapan di kursi rotan.
“Sudah saatnya kau mewarisi benda ini.”
Tangan Ayah menjulurkan sebuah kotak berwarna cokelat, lalu meletakkannya di atas meja. Sejenak, perkataan Ayah tersendat, ketika Sumirah datang membawa lampu duduk dan ikut meletakkan lampu itu diatas meja, sebelum Sumirah berlalu kembali kearah dapur.
“Terima dan bukalah!”
Dengan tangan sedikit bergetar, aku meraih kotak cokelat tua dan perlahan membukanya. Aku seketika terkejut, seperti tersengat kalajengking saat menatap sebuah badik tergelak dalam kotak itu. Badik yang gagang dan sarungnya berwarna seragam. Hitam legam.
Tanganku semakin bergetar. Untuk apa Ayah mewariskan badik ini secara mendadak? Mataku mengawasi setiap sudut ruangan, sejauh mata memandang. Tak ada siapa-siapa. Hanya nyala lampu duduk yang mengeluarkan asap serupa asap knalpot motor yang sudah berumur dan kerap lalu-lalang di depan gubuk membonceng gundukan pisang atau jagung untuk dijual di pasar Desa.
“Ayah, untuk apa ba…”
“Kau sudah besar, Sahir,” Ayah menggunting perkataanku. “Akhir-akhir ini, Ayah merasa jika Desa kita sedang diintai bahaya. Sudah saatnya kau belajar membela diri-sendiri.”
Ayah pasti sedang keliru. Desa kami aman-aman saja sejak setahun terakhir ini. Memang, Desa kami pernah geger dengan aksi pencurian ternak penduduk. Tetapi kejadian itu sudah sangat lama, dan sudah berakhir bersamaan dengan dilumpuhkannya Sanusi dan kawan-kawan dengan timah panas ketika hendak menggerogoti kandang sapi Pak Rojali, tetangga kami. Menurut cerita penduduk Desa yang pernah aku dengar di kedai tuak, Sanusi tak bakalan kembali lagi ke Desa kami, karena tubuhnya sudah membusuk dalam penjara.
“Hunus dan lihatlah!”
Tanganku tak berhenti bergetar. Bahkan, sekujur tubuhku sudah basah bermandi keringat dingin. Perlahan aku menghunus badik warisan Ayah. Sebuah badik berwarna kuning kecokelatan serupa warna gigi Ayah yang sudah puluhan tahun menguyah tembakau. Bentuk badik itu melengkung hampir sama dengan bentuk tumbuk lada, dan ujungnya sedikit membengkok ke bawah, bermotif gulungan awan.
“Simpan baik-baik badik itu,” kata Ayah lirih dan nyaris tak terdengar. Wajahnya agak condong ke depan, siku kirinya bertumpuh di sisi meja, dan jari tangan kanannya yang menjepit lentingan tembakau sesekali menunjuk kearah badik. Kami seperti sedang ngobrol di kedai kopi di pasar desa, sedang membahas sesuatu yang teramat sangat rahasia. Padahal, di ruangan ini tak ada siapa-siapa, selain nyala lampu duduk dan asap tembakau yang memenuhi ruangan dengan aroma seperti daging terpanggang.
Aku merenung, menatap lekat langit-langit bilik. Pikiranku masih gentayangan seputar warisan yang begitu mendadak aku terima dari tangan Ayah, seolah-olah sebentar lagi aku akan bertarung dengan ular naga jelmaan yang berusaha mengganggu Lastri, putri semata wayang Kepala Desa yang sudah lama aku incar. Atau selah-olah Desa kami sebentar lagi akan dikepung ratusan, atau ribuan kawanan perampok yang akan menculik gadis-gadis Desa, dan merampas ternak para penduduk Desa.
***
Aku berusaha melawan himpitan kesedihan dan kesepian. Sejak Ayah memutuskan untuk pergi meninggalkan tenda pengungsian, sejak itu pula aku berusaha belajar mencintai duka. Aku betul-betul merasa sendirian, walaupun di luar sana ada ratusan bahkan ribuan manusia yang senasib denganku:sama-sama meratap, sama-sama mencari orang tua dan saudara, sama-sama menakar nasib dengan air mata, sama-sama belajar mencintai duka.
Sudah dua bulan Ayah pergi meninggalkan tenda pengungsian. Entah di mana sekarang Ayah berada. Apakah Ayah sudah menemukan Ibu dan adikku? Apakah Ayah tetap pada pendiriannya seperti yang dikatakan sebelum pergi?, “Ayah tidak akan pulang sebelum menemukan mereka. Tak ada gunanya hidup jika kita kita tak tahu di mana kuburan orang-orang yang kita cintai.” Atau, jangan-jangan Ayah sudah memutuskan untuk menyusul Ibu dan adik ke pintu surga, membiarkan aku seorang diri terkatung-katung di lautan duka, lautan air mata.
Sayup-sayup aku mendengar langkah kaki mendekati tenda. Mungkin langkah kaki seorang tenaga suka rela membawa bungkusan yang seminggu terakhir ini menu makanannya tak pernah berubah: nasi, tempe dan sayur kangkung.
Atau, mungkin langkah Sersan Sarmin, yang akhir-akhir ini sering datang mengunjungiku, membual sepanjang malam, dan sebelum Sersan Sarmin meninggalkan mulut tenda, ia pasti menitip sepenggal kata,”Semuanya akan berlalu, dan kita akan kembali hidup seperti semula.”
Hidup seperti semula? Mustahil!. Aku sudah kehilangan sebuah gubuk tempat melepas lelah setelah bekerja siang malam di kedai tuak. Aku sudah kehilangan kedai tuak tempat menggantungkan nasib dan menyimpan banyak cerita. Mulai dari kisah Sanusi yang berakhir setelah timah panas merobek pangkal pahanya, lalu tubuhnya diseret dan diangkut mobil patroli lalu dibuang entah ke mana, cerita tentang Desa kami yang sebentar lagi akan di aspal dan ratusan tiang listrik segera menancap di sepanjang jalan, menggantikan posisi lampu duduk, sampai cerita tentang para pembalak yang hilir-mudik menebang dan mengangkut kayu hutan ke kota. Selain itu, aku sudah kehilangan Ibu dan seorang adik yang lenyap tertelan bumi. Hilang tanpa bekas. Lalu, akupun harus kehilangan sosok Ayah yang selama ini aku banggakan. Bagaimana mungkin aku bisa hidup seperti semula? Dasar Sersan pembual.
“Ayah pulang, Sahir!”
Sekali lagi, tubuhku terasa tersengat kalajengking. Suara itu, meskipun terdengar lirih dan bergetar, aku masih bisa mengenalinya. Itu suara Ayah. Suara lelaki paruh baya yang sudah puluhan tahun dengan lincah menaiki tiap anak tangga untuk menyadap tuak.
Aku berlari ke arah mulut tenda. Benar saja. Di sana sudah berdiri seorang laki-laki yang sudah mewariskan sebilah badik untukku. Pakaian Ayah masih sama ketika ia meninggalkan tenda pengungsian dua bulan yang lalu. Hanya warnanya sudah pudar terbalut debu dan lumpur.
Aku mengawasi di sekeliling Ayah. Tak ada siapa-siapa. Tak ada Ibu dan Sumirah. Tetapi aku segera tahu di mana Ibu dan Sumirah manakala ayah mengeluarkan sebuah sapu tangan dan kalung batu dari balik saku bajunya. Sapu tangan itu milik Ibu pemberian dari Ayah. Kalung batu itu milik Sumirah pemberian dari aku.
Kini, kalian tahu di mana Ibu dan Sumirah, bukan?
Ayah membelai rambutku, mendekapku dengan erat dan tanggul di belakang kelopak matanya kali ini betul-betul jebol. Aku merasakan ada cairan bening menjalar di pipiku, lalu cairan bening itu bercampur menjadi satu dengan cairan bening lainnya yang keluar dari kelopak mataku sendiri.
“Kita harus belajar mencintai duka, Nak!”
“Kita harus belajar menyukai duka, Ayah!”
Kami perlahan berjalan memasuki tenda, lalu menuju kearah kotak berwarna cokelat. Kelak, kotak itu akan berisi sapu tangan dan kalung imitasi, dan badik itu mungkin akan terselip selalu di pinggangku.
“Mari lanjutkan hidup,Nak. Meskipun kita sudah kehilangan semuanya. Kelak, Ayah yakin langit di atas sana akan kembali menjadi biru, tanpa mendung!”
Kami saling berdekapan, mencoba menebak apalagi yang akan terjadi esok hari. Tuhan, cukup kami saja yang merasakan hal seperti ini, yang memaksa kami belajar mencintai duka, belajar memberi arti akan sebuah kehilangan***
(Tanda simpati untuk warga pangkep, Sulsel yang baru saja tertimpa tanah longsor dan banjir bandang, gambar kompas.com)
(Makassar, 1 Agustus 2011)