Oleh:Alam Panrita
Apakah kalian pernah mendengar ada orang yang suka memancing tetapi tak sekalipun ia mendapatkan ikan? Jika ia tidak mendapat ikan sekali dua kali, mungkin masih wajar. Tetapi jika sampai detik ini mata pancingnya belum juga bisa mendapat ikan, wah, tentu ada yang tidak beres. Bagaimana tidak, sejak dulu, aku sangat suka memancing. Tiap hari. Bahkan, sampai malam. Tepatnya, tidak kenal waktu dan tempat. Pagi, siang bahkan malam. Kadang di sungai, empang atau di laut. Tetapi sekali lagi, dengan besar hati, aku mengaku jika aku adalah seorang pemancing yang gagal. Pecundang!
Beda halnya dengan teman sebayaku. Paimin misalnya. Setiap kali pergi memancing, ia pasti mendapat banyak ikan. Jika mancingnya di air tawar atau payau, Paimin pasti pulang dengan beraneka ragam spesies ikan. Seperti lele, kakap, bandeng, payus, dan jenis ikan yang lain. Begitu pula dengan Paijo. Aku gelari ia Si Raja Laut, karena begitu mahirnya memancing di laut. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Paijo sudah pulang dengan berbagai jenis ikan dan ukuran. Ada kuro, kuwe, tanda, tenggiri, tongkol sampai hiu. Tapi aku?
Maka mulai sejak itu, setiap pulang sekolah, Paijo dan Paimin secara bergantian memberikan wejangan atau tepatnya memberikan les tambahan kepadaku. Kursus kilat, tata cara menjadi pemancing yang handal. Mata pelajaran yang selama ini belum aku dapatkan di Sekolah, dan tentu saja aku berterima kasih untuk itu.
“Pertama-tama, kau harus mengetahui teknik dasarnya Parman!” Suara Paimin terdengar berat dan ada unsur kekecewaan yang bisa kutangkap dari nada suaranya.
“Betul….!”. Paijo memotong kata Paimin.
“Kau harus bisa membedakan apa itu teknik pelampung, teknik dasaran, maupun teknik casting! iya kan Paimin?” lanjut Paijo mulai serius dan mulutnya sudah bergeser sekitar tiga inci, persis mulut ikan lele.
“Bukan hanya itu, Parman. Kau juga harus selektif memilih jenis umpan untuk ikan. Kalau nalurimu mengatakan di dalam air ada bandeng, bolu, mulo atau agam, kau harus menjamunya dengan udang api, ikan kecil, pellet, roti atau lure!”. Paimin menambahkan, dan kali ini, aku tidak mendapatkan ikan lele pada mulut Paimin, melainkan seekor babi dengan hidung kembang-kempis. Persis!
Aku Cuma bisa manggut-manggut. Bukannya mengerti, tetapi pikiranku sudah melayang sekitar dua kilo meter, tepatnya pada buah mangga milik pak RT yang sudah mulai masak. Dan bisa dipastikan, wejangan dari Si lele maupun Si babi, seratus persen gagal total. Besoknya, aku masih pulang dengan tangan kosong. Tanpa seekor ikanpun!
Aneh! padahal, aku adalah seorang anak pesisir. Keluargaku, secara turun-temurun hidup sebagai nelayan, yang menggantungkan nasibnya pada mata pancing dan jala. Sebagian besar penduduk di desa kami, memang hidup sebagai nelayan. Nah, bagaimana jadinya jika sampai sebesar ini aku belum juga bisa memancing? menyedihkan!
“Besok, kau tak usah masuk sekolah, Parman!”. Suara ayah seperti kilat menyambar-nyambar ketika aku sedang asyik mendengar sandiwara radio kesukaanku: Tuturtinular.
“Memangnya ada apa, ayah? Bukankah sebentar lagi Parman ujian?”.
“Itu tidak penting!. Kau temani ayah ke laut. Kita pergi memancing”.
“Tidak bisa, ayah. Aku harus masuk Sekolah. Nanti aku tidak lulus”. Kataku protes.
“Lulus tidak lulus sama saja Man!. Sama-sama calon nelayan”. Suara ayah mulai meninggi.”Kapan lagi bisa belajar kalau bukan sekarang? Lihatlah. Ayah sudah mulai tua dan penyakitan. Mau makan apa kau kelak, jika ayah sudah tidak ada? Mau makan LULUS?”. Nada suara ayah melengking.
“ Tapi…Taap…!”
“Sudahlah! Kalau perlu, berhentilah Sekolah. Ayah sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membiayai sekolahmu”. Lanjut ayah.
Aku hanya diam tertunduk. Sedihku melebihi ketika Paijo dan Paimin mengataiku: sebaiknya kau jadi pemancing langit saja kawan. Mungkin di sana kau bisa menangkap ikan.
***
Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk ke laut bersama ayah. Ini adalah pengalaman pertamaku. Melaut, dan tidak jelas kapan pulangnya. Jika mujur, biasanya ayah cuma semalam nginap di tengah laut. Tetapi jika sedang apes, bisa dua, tiga bahkan seminggu. Tidak menentu. Aku sudah berusah menunda keinginan ayah untuk melaut hari itu. Selain cuaca agak mendung, kondisi badan ayah juga sedang tidak sehat. Rupanya penyakit batuknya kambuh lagi. Tetapi adakah yang bisa mengalahkan sebuah keinginan?
Dua buah jala, enam buah mata pancing, sebuah perahu tua bermesin tunggal, berbagai jenis umpan, empat potong lemang lengkap dengan dendeng ikan tenggiri, dan yang paling penting, beberapa teori yang sudah diajarkan Si mulut lele dan si hidung babi, siap menemaniku menaklukkan derasnya ombak, siap menjadi saksi bisu jika di tengah laut nanti ayah mengalungkan medali emas di leherku, sambil menjabat tanganku lalu berucap “ Selamat, Man..Kau lulus sebagai pemancing, dengan nilai sempurna”. Semoga!.
Seperti layaknya seorang prajurit yang siap ke medan perang, dengan gagah berani, aku ber khotbah di beranda depan pagi itu. Aku dikelilingi Nek Ijah, Nana dan Nini, kedua adik kembarku, ayah, dan tentunya kedua orang guruku. Si mulut lele dan Si hidung babi.
“ Hari ini, adalah hari yang bersejarah bagiku. Aku akan pergi menaklukkan ombak laut, dan akan pulang membawa banyak ikan untuk kalian. Doakan aku dan ayah, semoga di tengah laut sana, aku bisa mendapatkan jati diriku. Anak pesisir, yang tangguh”.
Serentak hadirin bertepuk tangan. Nana dan Nini sepakat melompat dan berteriak “Hore…Hore…Kakak pelaut…!”. Sedang ke dua guruku bersiul saling bersahutan, lalu berdiri dan menari. Kulihat raut muka Nek Ijah dan ayah mekar merona, sangat bangga seolah-olah aku baru saja berhasil membunuh seekor raksasa yang berusaha mengganggu sang puteri raja. Luar biasa!
Kabut tipis perlahan menjelma serupa wajah ibu yang sudah tiada sejak dua tahun lalu, dan ikut berbisik “ Jangan buat ibu kecewa nak! terjang karang-karang itu, setubuhi laut dengan perahumu”. Lalu kabut menghilang, air mata berlinang. Aku berangkat dengan ribuan doa berletupan ke angkasa. “Semoga semuanya baik-baik saja”.
***
Betul, kata pak Samad, guru mengajiku. Hidup ibarat dua sisi mata koin atau sebuah dadu di atas meja judi. Kita hanya bisa mengira, meraba dan menduga, tetapi bukan kita yang memastikan. Hidup adalah dua, tiga, empat, sepuluh bahkan seribu pilihan. Tapi kadangkala, kita tak punya pilihan apa-apa atau tidak bisa memilih? hidup adalah rahasia, dan satu-satunya yang pasti adalah mati. “Kalian suka main tebak-tebakan? Nah, seperti itulah hidup”. Kata pak Samad suatu hari, kepada puluhan anak ngajinya, termasuk aku.
Niat untuk menjadi anak pesisir tangguh yang bisa menaklukkan laut, sejenak tertunda. Aku dan ayah terkatung-katung di tengah laut di permainkan hujan dan gelombang. Baru beberapa mil meninggalkan bibir pantai, aku sudah disambut hujan. Air laut meluap, gelombang menendang, ikan-ikan berdendang. Perjalanan sangat tidak memungkinkan untuk diteruskan.
Kami memutuskan untuk pulang sebagai sepasang pecundang. Tak ada ikan, apalagi medali. Gelar anak pesisir tangguh, telah direbut oleh cuaca. Bukan hanya itu, semenjak pulang, kondisi ayah semakin memburuk. Batuknya kembali kambuh, diiringi demam yang tinggi. Jika ayah batuk, terkadang beberapa tetes darah ikut keluar bersama dahak. Dan puncaknya, setelah seminggu istirahat di rumah, apa yang ia takutkan selama ini benar-banar terjadi. Ayah pergi menemui ibu di surga sana. Meninggalkan tiga orang anak yang sama sekali belum bisa memancing. Kata-kata ayah terus terngiang sampai selesai upacara pemakaman.” Mau makan apa kau kelak jika ayah sudah tidak ada…?”.
Mungkin inilah maksud ucapan pak Samad. Hidup adalah rahasia, kadang dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan pilihan, namun lain waktu, kita tak punya pilihan apa-apa. Mau tidak mau, hidup harus dijalani. Bagaimana tidak, sepeninggal ayah, otomatis aku merangkap tanggung jawab dalam keluarga. Sebagai kakak sekaligus ayah Nana dan Nina. Belum lagi Nek Ijah yang sudah tua dan sudah seharusnya istirahat. Lalu apa yang bisa dilakukan anak berusia dua belas tahun untuk menghidupi seorang perempuan tua yang sudah bau tanah bersama dua orang anak yang masih kencing di tempat tidur? Jangankan untuk menghidupi ketiganya, menghidupi diri sendiripun, rasanya masih sulit. Memancing ikan pun, belum bisa.
Aku sama sekali tidak ada pilihan waktu itu. Buktinya, aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Aku memutuskan menjadi kuli pengangkut pasir. Bersama bang Sardi dan bang Surya, aku mengangkut pasir dan kerikil ke atas mobil untuk di bawah ke kota dengan upah yang kadang hanya cukup untuk jajan Si kembar. Diwaktu luang, jika sedang tidak ada mobil pengangkut pasir dari kota, aku beralih profesi sebagai pencari kerang laut. Nah, kerang-kerang itu aku kumpulkan. Sebagian untuk menu makan rutin di rumah, sebagian lagi aku jual di pasar desa.
Berhenti Sekolah, menjadi kuli pengangkut pasir, menjadi pencari kerang, bagi aku bukanlah sebuah pilihan, melainkan keterpaksaan. Atau bahasa halusnya, adalah nasib. Jika bisa memilih, aku pasti ingin tetap Sekolah seperti Si mulut lele dan Si hidung babi. Bisa tiap hari pergi memancing bersama mereka dan tentunya bisa bermain seharian dengan teman sebayaku seperti dulu.
***
Enam bulan setelah ayah meninggal, kini giliran Nek Ijah yang menyusul. Pada sebuah pagi yang gelisah, tanpa tanda dan isyarat, maut datang memisahkan Nek Ijah dengan kami bertiga. Apa lagi ini? Cobaan, kutukan atau hinaan? mengapa tidak kau rengguk sekalian kami berempat? Hari itu, aku menantang maut untuk berkelahi!. Sayangnya, ia terlalu pengecut dan hanya berani mengambil nyawa yang sudah tipis dan berkarat.
Hari itu, aku kabarkan dukaku kepada langit, angin dan matahari, tetapi mereka hanya membalasnya dengan hujan dan sepotong pelangi. Hari itu aku kabarkan dukaku pada laut, bukit, dan pepohonan, tetapi mereka malah mengejekku dengan sebuah tulisan pada tanah merah “ITU TAKDIRMU”. Hari itu aku kabarkan dukaku kepada semua orang yang hadir dipemakaman, pada bu Melati, mantan guru kelasku, pak Subair, Kepala Desa kami, pak H.Darwis, Iman Masjid Desa kami, pada bang Sardi dan bang Surya, pada Si mulut lele dan Si hidung babi, tetapi mereka justru membuat duka kami bertiga semakin mekar dengan ritual yang sering kita saksikan jika sedang melayat ke rumah duka: sepiring air mata buaya dengan sedikit kata pemanis ”turut berduka cita…!”.
Sepeninggal Nek Ijah, kami bertiga adalah kura-kura yang tertawan di atas rumah tua. Aku tak bisa kemana-mana karena aku harus menjaga si kembar. Selain pensiun dini sebagai murid Sekolah, rupanya akupun harus pensiun menjadi buruh angkat pasir, dan pencari kerang. Apakah kami bertiga akan memutuskan mengakhiri hidup dengan sebilah pisau atau sebotol racun seperti yang sering kita lihat di layar kaca? Atau bagaimana jika kami bertiga menghanyutkan diri di sungai atau di pantai? barangkali saja, di antara kami ada yang selamat, lalu di atas punggung hiu bisa berteriak lantang “ Akulah anak pesisir yang ditakuti maut!”.
Tidak, aku tidak akan membuat cerita ini sesederhana itu. Aku harus punya watak dan karakter. Tidak logis rasanya jika aku bisa bertahan waktu ayah meninggal dulu, bisa bertahan menjadi kuli pengangkut pasir, bisa bertahan menjadi pencari kerang, namun akhirnya menyerah hanya karena Nek Ijah di culik maut. Ahay! aku masih punya satu tokoh yang pernah mengajarkan jika hidup menyerupai koin atau mata dadu bukan? yang membuat statement jika hidup adalah rahasia, dan penuh hal yang tidak terduga seperti sedang main tebak-tebakan? ya! pak Samad. Guru mengajiku. Dialah tokoh yang tak terduga itu. Dialah manusia koin atau manusia dadu. Dialah manusia “tebak-tebakan”. Itu.
Pada sebuah sore yang pucat, ketika kami sedang menakar-nakar nyawa yang tersisa, Ia datang membuktikan kata-katanya, jika hidup adalah lautan kemungkinan. Sungguh! Sejak tinggal di pesisir ini, aku sama sekali tidak pernah melihat pak Samad bersedih atau menangis. Padahal, jujur saja. Nasib kami tidak begitu jauh berbeda. Ia hidup sebatang kara sejak usia masih belia. Istrinya sudah meninggal sejak empat tahun lalu, dan tidak mempunyai anak. Ia hanya memiliki satu-satunya warisan yang ditinggal ayahnya, Sebuah gubuk berukuran tidak lebih tiga kali empat meter yang jika berdampingan dengan rumah kami, persis seperti bangunan kakak beradik. Sama-sama beratap rumbia, dan berdinding anyaman bambu. Pernah suatu hari aku bertanya kepada pak Samad. Apakah hidupnya terasa sepi? apakah hidupnya juga menyedihkan seperti halnya kehidupan kami? Apakah setiap hari-harinya selalu di lukis dengan air mata?
“ Tidak nak! untuk apa meratapi hidup? aku bisa mengusir sepiku dengan lantunan Al-Qur’an. Aku lebih baik menumpahkan air mataku di atas Sajadah, daripada menghamburkannya di tempat yang tak semestinya”. Akh, pak Samad. Kau betul-betul manusia dengan segala kemungkinan.
“ lalu bagaimana dengan kami?”
“ Semuanya akan baik-baik saja. Tak ada yang mesti ditakutkan”
“ Bagaimana caranya kami bertahan hidup?”
“ Gampang, ayo kita pergi memancing…!”
“ Tapi…Aku tidak bisa memancing, sejak dulu, aku tak pernah menangkap seekor ikan pun”
“ Kita tidak akan memancing ikan”
“ Lalu? Untuk apa kita ke sungai atau ke laut?”
“ Kita tidak akan ke sana”
“Maksudnya..?”
Pak Samad meraih tangan-tangan mungil kami, berjalan menuju pinggir langit. Malam ini, kami akan memancing. Kami akan lemparkan umpan ke langit. Kami memancing bukan di laut, sungai apalagi kolam, karena kami bukanlah pemancing laut yang berharap paus, hiu ataupun todak. Kami adalah pemancing langit yang berharap bisa menangkap Khazanah langit, dengan umpan ucapan doa menggumamkan: La ilaha illallah, La ilaha illallah, La ilaha illallah. Laila seribu purnama. Ya, kami akan menangkap seribu purnama malam ini. Tangkaplah kami sang tanda redhaNya.
Kami mungkin gagal menjadi anak pesisir yang tangguh, tetapi kami yakin, suatu saat kami bisa menjadi pemancing yang baik. Pemancing langit***
Catatan: Cuplikan dari puisi Bpk. Sutardji Calzoum Bachri “ laila seribu purnama”
(Makassar, 2 Juli 2011)