Sabtu, 02 Juli 2011

KILOMETER NOL


PEREMPUAN itu duduk sendiri di sofa bagian pojok. Sofa yang sering aku tempati setiap kali ke kafe ini. Jujur saja, jika tidak duduk disana, aku merasa tidak betah dan ingin secepatnya pulang. Sebenarnya, sofa itu tidak ada bedanya dengan sofa-sofa yang lain, kecuali letaknya di pojok kanan belakang. Ukuran, bentuk dan warnanya sama persis dengan sofa yang aku dan pengunjung lain sedang duduki.

Aku mengamati perempuan itu. Perempuan yang telah merampas sofaku. Merampas? Betul! Bukan saja merampas sofa, tetapi perempuan itu telah merampas ketenanganku. Walaupun lampu kafe agak remang, aku masih bisa menangkap wajah perempuan itu. Letak duduk kami yang hanya dibatasi dua buah sofa dan sebuah meja, sangat membantu. Apalagi letak sofa kami saling berhadapan. 

Perempuan itu mengenakan baju modis terusan dengan model Sleeveless berbelahan dada rendah berwarna hitam.  Rambutnya diikat seluruh ke belakang, wajahnya hanya disapu bedak tipis dan  bibirnya dipoles gincu cokelat muda. Terlihat alami dan seksi. Usianya sekitar tiga puluhan.

Sejak satu jam yang lalu, ia tak berhenti merokok dan meminta pelayan membawakan botol bir di atas meja. Asbak rokok sudah hampir penuh dan dua botol bir sudah kosong. Botol ke-tiga-pun, tinggal separuh. Aku terkesima. Untuk urusan yang satu ini, aku betul-betul merasa pecundang. Bagaimana tidak, meski aku memesan minuman yang sama, tetapi botol pertamaku masih tersisa separuh.

Aku mengalihkan perhatian kembali ke lap top. Sebagai seorang distributor obat dan alat kesehatan, aku banyak berinteraksi dengan rekanan melalui surat elektronik. Puluhan email belum sempat kubaca. Aku baru sempat membaca satu email yang memesan sejumlah item obat dan alat kesehatan. Kehadiran perempuan itu telah mengganggu konsentrasiku. Kian mengganggunya, sampai aku sudah lupa nama dan alamat Si pemesan tadi. Sial! ia benar-benar telah merampas semuanya. Bukan hanya sofa dan ketenanganku, tetapi dia juga telah merampas waktu dan konsentrasiku.

Aku kembali mengalihkan perhatian kearah perempuan itu. Sedang apa ia sekarang? Mungkin ia sudah mabuk dan muntah di atas meja. Atau mungkin ia sudah pergi. Bukankah sekarang malam sudah melarut? Tepat pukul 00:00. Akh, ternyata dugaanku keliru. Ia masih disana. Masih seperti semula. Sama sekali tak ada muntahan di atas meja. Hanya raut wajahnya yang sedikit memerah, dan aku bisa maklumi karena botol bir kosong di depannya sekarang bertambah lagi satu. Sudah ada tiga botol kosong. Luar biasa.

Aku mulai mencermati perempuan itu  lebih seksama. Gaya duduknya, gaya mengisap rokok, gaya meminum bir, dan…Akh, ia menoleh kearahku. Tepat, mata kami saling beradu. Ia tersenyum tipis. Ia mengerdipkan sebelah matanya. Berhasil! ia berhasil menghadirkan lautan debar. Debar yang sudah lama tak pernah kurasakan, dan debar yang pernah  kuanggap sebagai mimpi buruk. Sungguh, aku merasa debar yang kurasakan di luar logika. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang namanya saja belum kukenal sudah berhasil menghadirkan debar dalam dadaku?. 

Setelah merampas sofa, ketenangan, waktu dan konsentrasiku, seharusnya aku membencinya bukan? atau memang ada hubungan linear antara benci dan debar? Sungguh, aku tak faham. Yang jelas, ia betul-betul telah berhasil menghadirkan debar itu. Debar yang perlahan aku  sukai. Debar yang telah hilang sejak tiga tahun yang lalu, bersama hilangnya seorang kekasih yang…

Aku tertunduk. Aku tidak sanggup melanjutkannya. Tepatnya aku tidak mau. Itu masa laluku. Dan bukankah dari awal aku hanya bercerita tentang sebuah sofa? itupun hanya karena kebetulan perempuan itu telah merampas sofaku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk bercerita, layaknya seorang penulis atau pengarang. Apalagi sampai membuat cerpen. Aku merasa tidak punya kapasitas untuk itu. Seorang distributor obat dan alat kesehatan tidak ada kaitannya dengan karangan bukan? Setiap hari, aku hanya bergelut dengan angka-angka yang riil. Aku tidak pernah belajar mempengaruhi pembaca. Kalau mempengaruhi pelanggan, mungkin iya. Tetapi konsepnya jelas berbeda. Aku mempengaruhi mereka dengan kenyataan. Bukan dengan ilusi atau imajinasi. 

Tapi, sekali lagi perempuan itu sudah benar-benar merusak semuanya. Asal tahu saja, kedatanganku ke kafe ini, bukan untuk menulis sofa, baju belahan dada, bir dan asbak. Apalagi sampai menulis kisah masa laluku yang sangat privasi. Seperti malam-malam sebelumnya, aku ke kafe ini hanya untuk melepas kejenuhan sambil mengecek email dari rekanan. Tidak lebih dari itu. Persoalan mengapa aku menyukai duduk di sofa pojok kanan belakang, itu hanya mengenai selera. Tidak perlu dibesar-besarkan.

Tapi, sekali lagi perempuan itu sudah benar-benar merusak segalanya. Bukan hanya merampas, tetapi ia sudah berhasil menghadirkan debar dalam dadaku. Lebih jauh lagi, ia telah mempengaruhi pikiranku. Pikiran? Bukan hanya pikiran. Ia juga telah mempengaruhi hatiku. Lihatlah! Kini seolah gentian ia yang mengamatiku. Pandangannya lurus kearahku. Senyumnya merekah. Duh, debar ini seketika hadir kembali. Bahkan, semakin menjadi-jadi. Semakin kencang, seperti aku barusan menyelesaikan putaran terakhir dalam lomba lari maraton. Bedanya, debar ini semakin asyik terasa, dan aku tidak merasa letih sedikitpun.

***

Suasana kafe sudah sepi. Hanya ada tiga pengunjung duduk satu meja di tengah ruangan. Entah kekuatan apa yang menarik aku untuk pindah ke sofa yang lain. Jangan-jangan, ini adalah salah satu rangkaian pengaruh perempuan itu. Sedemikian jauh kah pengaruhnya? Entahlah. Yang jelas, aku sekarang berada tepat di depannya. Sofa kami tetap berhadapan, dan sekarang hanya dibatasi sebuah meja. Dengan demikian, aku pasti bisa mengamati perempuan itu secara seksama. Kali ini, aku tidak mau menjadi seorang pecundang. 

Aku tidak ingin ia menguasai segalanya. Tepatnya, aku juga ingin menghadirkan debar dalam dadanya. Impas bukan? Atau setidak-tidaknya, ia harus bertanggung jawab karena telah membuat segalanya berantakan.
Kali ini ia tertunduk. Matanya lekat pada gelas kosong didepannya. Puntung rokok yang terselip di jari kirinya, jatuh dengan sendirinya diatas meja. Aku terus mengamatinya. Raut wajahnya semakin memerah. Sekarang rambutnya sudah terurai. Beberapa lembar menutupi wajahnya, dan ujung-ujung rambut lurus itu bertemu di sudut bibirnya yang tipis. Bibir yang awalnya bergincu cokelat muda, kini telah berubah pucat. Mungkin gincu itu sudah melarut dalam gelas minuman, dan ia telah reguk sendiri.

Untuk kesekian kalinya, debar kembali bertakhta. Merajalela, dan mengaduk-aduk perasaanku. Debar itu telah membuncah. Mengalir bersama darah, dan menghadirkan lautan getar. “Tidak mungkin…!” Gumanku dalam hati.
Sekali lagi, aku pindah ke sofa lain. Kali ini kami sudah duduk di sofa yang sama, yang memang bisa diduduki untuk dua orang. Kami duduk sejajar. Sejurus kemudian, aku telah menangkap wajahnya kembali. Sangat jelas. Bahkan aku bisa melihat kerutan wajah dan mencium aroma bir dari hidungnya. “Ini benar-benar tidak mungkin…!”.
Instrument Forever In Love milik Kenny G perlahan hilang, sepi membayang.

 “ Apakah anda…”
Aku tidak melanjutkan pertanyaan. “Itu pertanyaan konyol!” Gumanku dalam hati.
Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal bisa hidup kembali? Dengan rujukan ilmu apapun, rasanya mustahil. Diluar logika. Memang, tiga tahun yang lalu, kami pernah mengikat diri dalam sebuah janji. Kami pernah menyatukan angan untuk membangun sebuah pondok cinta. Ya, hanya sebuah pondok cinta. Bukan istana. Kami-pun sepakat untuk membangunnya di samping sungai, bukan di tengah kota. “Hanya ada satu kamar!’ katanya manja, sambil bersandar di bahu kiriku. “Kenapa hanya satu?” tanyaku menyergap. “Itu sudah cukup, biar kita bisa saling memandang tiap hari, tanpa dibatasi ruang”. Lanjutnya, lalu kami renyah dalam tawa. Sehari kemudian, ketika aku sedang duduk di sofa yang sama seperti malam ini, aku mendapat kabar menyerupai gelegar petir. Ia tabrakan, ketika hendak menuju ke kafe ini. 

“Tapi iya sangat mirip!”
“Semirip apapun, yang jelas perempuan itu bukan dia”.
“Lihatlah, bibirnya. Bukankah dulu kau sering mengulumnya?”
“Tidak, itu bukan bibirnya!”
“Bagaimana dengan matanya?”
“Bukankah mata didunia ini sangat banyak? Bisa saja bentuknya sama”
Perempuan itu berpaling ke kanan
“Lihat, tahi lalat di belakang lehernya. Dulu kau sering menyentilnya”
“Tidak, ribuan perempuan pasti punya tahi lalat yang letaknya sama”
“Bagaimana dengan lengan kirinya? Bekas luka itu masih ada. Itu bekas luka ketika kalian terjatuh dari motor”
“Bukan…Sekali lagi dia bukan Mayang…!”
“Mayang? kau mengingatnya sekarang? Bukankah kau sudah berjanji untuk melupakannya?”
“Kau yang memaksaku..!”
“Kau yang pecundang”
“Tidak…! Perempuan itu bukan dia”
“Lalu bagaimana dengan debar itu? Debar yang kau bilang tak biasa?”
“Debar bisa datang kapan saja…!”
“Kata siapa? bukankah kau sudah puasa debar sejak tiga tahun yang lalu?”
“Memang iya..! tapi ini hanya kebetulan”
“Kebetulan? kau sungguh menyedihkan”
“Tidak, aku baik-baik saja”
“Dasar pecundang…!”
“Tidakkkk….! aku bukan pecundang. Perempuan itu betul bukan dia”

***

Sebuah tepukan membuatku tersentak. Meski tidak begitu keras, tetap saja membuatku kaget.
“Maaf, kafe sudah mau tutup” kata pelayan sambil berlalu.
Aku mengatur kembali tempat duduk. Mengatur nafas, menyelesaikan tegukan terakhir yang tersisa pada gelas kaca. Perlahan aku menoleh ke samping kanan. Tidak ada siapa-siapa. Saya memanggil pelayan mendekat.
“Kemana perempuan itu?”
“Perempuan yang mana?” pelayan balik bertanya.
“Yang tadi duduk bersamaku. Yang memesan enam botol bir, dan tak pernah berhenti mengisap rokok”.
“Apa anda mabuk?” Pelayan balik bertanya
“Aku tidak mabuk. Sungguh!”
“ Atau anda sedang sakit…?”
“Gila maksudmu? maaf! aku tidak punya waktu untuk sakit, apalagi gila”
“Kalau begitu, cepatlah pulang! sejak kafe ini buka, tidak seorangpun perempuan berkunjung kesini, apalagi memesan bir sebanyak itu”. Kata pelayan sambil berlalu.

Sejenak, aku tertegun. Siapa yang mabuk? Apakah aku atau pelayan itu? Siapa yang sakit? Apakah aku atau pelayan itu?. Sekali lagi, aku menoleh ke samping. Benar, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada botol bir kosong, tidak ada asbak yang dipenuhi puntungan rokok. Aku perlahan berdiri, meninggalkan kafe, tetapi sungguh! aku tidak sedang mabuk, apalagi sakit. Lalu siapa yang mabuk? entahlah. Lalu siapa yang sakit? Aku tidak peduli! Yang jelas, bukan Mayang, karena tidak mungkin orang mabuk atau orang sakit bisa menghadirkan debar sedasyat ini. 

Akh, dia benar-benar telah membuat segalanya berantakan, dan telah berhasil memaksaku menceritakan semua yang tak semestinya ku ceritakan. Mayang, suatu saat aku pasti membalasnya. Mungkin bukan kepada kau, tetapi kepada perempuan-perempuan lain. Aku pasti bisa menghadirkan debar dalam hati mereka. Aku terus melangkah, membawa sekantong debar yang masih tersisa***
(Café Shangrilla, Makassar 30 Juni 2011, pukul 00:00)
Catatan: Terinspirasi dari Cerpen Ia Tak Sendirian Karya Djenar Maesa Ayu