MEREKA bilang aku gadis yang bodoh ketika aku masih betah berlama-lama menungguimu di bawah senja di dermaga itu. Baik orang tuaku, saudaraku, teman-temanku, semuanya menganggap aku gadis bodoh. Sepuluh tahun penantian memang bukanlah hal yang mudah. Mungkin sebagian diantara kita tak sanggup untuk melakukannya. Tetapi tidak dengan aku.Aku merasa bukan gadis bodoh. Mana mungkin gadis bodoh bisa menjaga kesetiaan akan sebuah janji apalagi selama itu?.
Bahkan di antara mereka ada yang menganggapku gadis gila. Ketika aku menolak lamaran si Udin, pengusaha muda yang sukses di kota, ketika aku menolak cinta si Jefri, anggota legislatif dari desa kita yang sekarang hidupnya sudah sangat berubah, semakin mapan dan semakin terhormat, ketika aku menolak mengenakan cincin tunangan yang di sodorkan si Ucok, pemuda dari desa sebelah yang sangat tampan dengan kulit putih bersihnya. Tapi, sekali lagi aku merasa bukanlah gadis gila. Mana ada gadis gila yang mau mempertaruhkan semuanya untuk sebuah janji?sebuah kesetiaan?sebuah harapan?.
Aku sama sekali tidak tertarik dengan kekayaan si Udin, sama sekali tidak tertarik dengan jabatan si Jefri, dan tidak juga tertarik dengan ketampanan si Ucok. Pintu hatiku telah kututup rapat-rapat untuk mereka dan untuk siapa saja yang berusaha mendapatkan cintaku. Aku hanya berharap, suatu saat pintu itu terbuka dengan tanganmu sendiri kekasihku.
Untuk yang kesekian kalinya, setiap kudengar ada kapal yang akan berlabuh di dermaga itu, aku pasti akan ke sana tanpa syarat. Harus! Seperti siang itu, setelah kudengar akan ada kapal yang akan berlabuh dari negeri Jiran, aku segera berkemas-kemas. Meninggalkan semua aktifitasku lalu kulangkahkan kakiku sejauh dua kilometer dari desa kita ke terminal.
Dari terminal, aku kembali harus menunggu bis yang akan membawaku ke dermaga. Jika beruntung, aku bisa cepat-cepat meninggalkan terminal dengan panther, meskipun bayarannya lebih mahal. Tidak apa. Aku ingin menjadi orang yang pertama yang sampai di dermaga itu.
Jarak dermaga dengan desa kita lumayan jauh. Sekitar seratus kilometer dan harus di tempuh selama berjam-jam. Selain karena jalan yang sebagian belum beraspal, aku juga harus menunggui bis atau panther sampai penuh dengan penumpang. Tapi, rupanya siang itu aku lagi mujur. Sebuah panther sisa menunggui seorang penumpang lagi sebelum bertolak meninggalkan terminal.
Selama dalam perjalanan, aku berusaha menghibur diri dengan lagu yang sering kita nyanyikan dulu. Aku terus menyanyikan lagu-lagu rindu tanpa peduli tatapan teman seperjalananku yang bergantian menatapku sambil tersenyum-senyum kearahku.
Benar saja, ketika aku sampai di dermaga, suasana masih sangat sepi. Hanya beberapa orang anak yang kutemui sambil mengemasi barang jualannya. Aku tidak peduli dengan tawaran dagangan mereka. Aku terus ke ujung dermaga tempat di mana dulu kita harus menitikkan air mata karena kejamnya sebuah perpisahan. Berjam-jam aku di sana sebelum dari tengah laut perlahan terlihat cahaya lampu yang semakin lama semakin membesar.
“ Kapal dataaaang” teriak anak-anak asongan mambuat aku dan orang-orang lainnya yang memenuhi dermaga bersorak girang. Kapal semakin mendekat dan merapat. Satu-persatu penumpang kapal itu turun berbaur dengan kami. Mereka berdekapan dengan kelurga, anak dan istri mereka dengan tangis kebahagiaan. Lalu di mana engkau?
Suasana dermaga kembali sepi seperti semula. Hitamnya malam telah mengkudeta senja yang tak sempat kunikmati sore tadi. Gerimis perlahan turun bercampur dengan air bening dari kelopak mataku di ujung malam itu. Aku tak kuasa menahan tanggul-tanggul di belakang kelopak mataku yang kemudian jebol. Aku kembali menangis malam itu kekasihku.
Perlahan aku berdiri, sekali lagi menoleh ke kapal sebelum kupastikan jika kau benar-benar belum datang memenuhi janjimu. Janji untuk segera menemuiku setelah kau sudah punya tumpukan rupiah untuk bekal pernikahan kita. Aku meninggalkan dermaga dengan hati yang sedih. “ Tidaaak! Ini belum berakhir. Suatu saat akan ada kapal yang akan membawamu kembali untuk memenuhi janjimu” batinku membantah. Aku berusaha tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan dermaga dengan iringan gerimis yang perlahan berganti menjadi hujan.
****
Seperti yang sudah-sudah, setiba aku di desa kita, mereka satu-persatu kembali mencibirku kekasihku. Bahkan ibu sudah terang-terangan mengatakan perang kepadaku saat lamaran sepupu dekatku si Janu kembali kotolak. Ibu, selain menganggapku gadis bodoh dan gila, juga menganggapku seorang gadis “korban pelet”. Tetapi untuk yang kesekian kalinya pula, aku tetap membantah. Aku merasa masih sangat waras. Aku tidak gila. Aku tidak termakan pelet. Aku hanya termakan sebuah janji. Janji yang kita setujui tanpa seorang saksipun selain bibir dermaga dan ditandai dengan sebuah kecupan dikeningku waktu itu.
Setelah ibu meninggalkanku sendirian dalam kamar malam itu, aku perlahan mendekati cermin. Aku mematuk wajahku di sana. Kini, aku telah banyak berubah. Diusiaku yang sudah tiga puluh lima tahun, keriput mulai menyerangku. Satu dua helai rambutku sudah memutih. Aku bukan lagi seorang gadis seperti ketika kita pertama kali bertemu di samping surau selepas Maghrib.
Aku masih ingat waktu itu selain kau, ada puluhan pemuda desa yang berusaha mendekatiku. Andi, Iwan, Doni, Firman, Akil dan lainnya. Tetapi, segenggam hati dan setitik harapan kuserahkan dengan utuh kepadamu tanpa sedikitpun keraguan. Kau yang kupilih menjadi lelakiku sejak itu. Kau yang kupilih menemaniku mewujudkan impianku, membangun sebuah pondok cinta di samping taman. Kita akan menghabiskan waktu di atas ayunan dengan tawa yang renyah kekasihku.
Dan kelak! ketika anak-anak kita lahir, aku akan mengajari mereka untuk selalu setia akan sebuah janji. Apakah kau masih ingat suatu hari di depan rumah pak Kades kau berbisik kepadaku “ Aku tak ingin memiliki rumah sebesar itu. Dinding-dindingnya akan menghalangi pandanganku kepada kau dan kepada anak-anak kita kelak”. Aku setuju. Dan sejak saat itulah kita sepakat untuk membangun hanya sebuah pondok. Bukan rumah mewah berlantai tiga seperti rumah pak Kades.
****
Sore ini, aku kembali mendatangi dermaga itu. Sebuah dermaga tua yang hanya kepadanyalah sering kucurahkan semua kegelisahanku. Langit sore itu sangat cerah. Perpaduan warna putih keabu-abuan dengan jingga sangat mempesona. Akh, andai saja aku seorang pelukis, pasti tidak kubiarkan semuanya berlalu begitu saja. akh, andai saja aku seorang penulis, mungkin akan tercipta sebuah cerpen atau mungkin novel yang akan selalu dikenang. Tetapi, aku hanyalah seorang perempuan yang setia kepada sebuah janji.
Kapal “ Ujung Penantian” kembali merapat. Sebuah kapal yang sudah sangat kukenali lekuk tubuhnya. Dialah yang telah memisahkan kita. Dan aku selalu berharap, dia mau mengembalikanmu kepadaku. Seperti biasa, aku kembali berbaur dengan banyak orang sore itu. Orang-orang yang selalu haus akan sebuah pertemuan. Orang-orang yang selalu tersiksa dalam sebuah penantian. Ada yang melompat-lompat kegirangan setelah menikmati indahnya pertemuan, ada yang tertawa terkekeh-kekeh, ada pula yang menangis sejadi-jadinya sambil mendekap orang yang dinantikannya.
Aku gelisah kekasihku, dermaga sudah mulai sepi. Apakah kau belum juga datang? Apakah kapal itu betul-betul akan memisakan kita untuk selamanya?, ataukah mereka benar menganggapku gadis bodoh, gadis gila atau korban pelet? Tidaaak! Mereka salah. Merekalah yang bodoh. Merekalah yang gila. Merekalah yang telah di pelet dengan perasaannya sendiri.
Senja sebentar lagi diculik oleh malam. Kulihat senja itu ikut menertawaiku. Laut yang tadi terlihat tenang, tiba-tiba mengirimkan ombak yang menderu. Semilir angin menjadi semakin kencang. Menampar wajahku seolah-olah ingin mengingatkanku jika aku benar-benar telah gila. Gila akan sebuah janji. Gila akan sebuah penantian. Aku menghela napas dalam-dalam. Dadaku bergemuruh. Tubuhku bergetar hebat. Gerahamku saling beradu.
Baru saja kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan dermaga, ketika mataku menangkap seorang pria yang sudah tak muda lagi. Keriput di wajahnya melebihi keriputku. Sebagian rambutnya telah memutih. Langkahnya tak tegap lagi. Tapi, aku sangat mengenalinya. Aku segera berlari kearahnya sambil berteriak berkali-kali “ Daeng Baso…Daeng baso..Daeng Basoooooo”.
Aku hampir sampai kepadanya ketika tiba-tiba seorang perempuan seumuranku mendekati dan meraih tangannya. Seorang anak juga berlari dan sekarang sudah berada dalam gendongan laki-laki itu. Langkahku terhenti. Kakiku terasa kaku. Detak jantungku semakin kencang. Aku terus memandangi mereka bertiga berlalu dari hadapanku tanpa pernah menoleh kearahku sekalipun.
Suara riuh tiba-tiba terdengar dari arah manapun di telingaku. Suara tepuk tangan, suara cacian, suara makian, suara tawa, suara tangis, suara cemohan, dan berbagai suara lainnya. Bercampur menjadi satu menusuk tajam telingaku kemudian mengalir bersama aliran darahku. Sayang, aku masih terlalu kuat untuk semua suara itu. Aku masih bisa tersenyum tanpa air mata sambil terus melangkah meninggalkan dermaga yang mungkin tak akan kutemui lagi.
Aku tahu. Aku akan segera membunuh mimpiku. Mimpi tentang sebuah pondok cinta. Namun, aku masih bisa tersenyum setidak-tidaknya untuk sebuah janji yang sampai kapanpun akan terus kupertahankan. Aku akan tetap menjadi perempuanmu sampai kita benar-benar dipisahkan oleh ajal.
( Makassar 19 Juli 2010)