Ia adalah lintah. Apakah termasuk golongan anelid yang merangkumi sub kelas hirudinae, yang mendiami air tawar, air laut atau daratan, belum bisa kupastikan. Apakah ia juga termasuk anggota klitelum yang kelenjarnya bisa membengkak pada kulit anelid semisal cacing tanah yang merembeskan kokun dan bahan nutriem untuk embrio, juga belum bisa kujelaskan. Tetapi, ia betul-betul lintah, di mana tubuhnya sudah berevolusi sedemikian rupa, dari 34 segmen menjadi ratusan atau bahkan ribuan atau lebih tepatnya beribu-ribu segmen.
Ia adalah lintah. Tetapi kupastikan ia tidak termasuk salah satu dari 600 spesies lintah yang kita kenali pada umumnya. Baik ukuran, bentuk, maupun prilakunya. Tubuhnya jauh lebih panjang seratus kali lipat, seribu kali lipat, atau beribu-ribu kali lipat dibanding panjang tubuh lintah pada umumnya yang maksimal hanya 10 inci. Warna tubuhnya pun berubah-ubah. Kadang putih, hitam, cokelat, atau hijau dengan garis putus-putus pada bagian badannya. Satu yang menonjol, matanya selalu merah seolah-olah ia tidak mempunyai biji mata, dan mulutnya tak pernah terkatup.
Kadang serupa pertapa yang sedang komat-kamit, kadang serupa pantat ayam yang nyawanya sudah berada di ujung pisau ketika hendak disembelih, kadang pula ia menganga seolah-olah ia ingin menelan bulan. Dari mulut itulah keluar lendir yang liat dan sedikit licin dan berbau amis. Bukan hanya pada mulutnya, tetapi hampir semua bagian tubuh ikut mengeluarkan lendir yang sangat teramat amis, seolah-olah tak ada lagi amis yang lebih amis: menyengat hidung!
Ia adalah lintah. Saya pertama kali melihatnya waktu bulan purnama empat bulan yang lalu. Ketika itu, ayah sedang melaut. Seperti biasa, ayah melaut tak tentu arah dan tak tentu kapan pulangnya. Kadang sehari, kadang seminggu, bahkan bisa jadi sebulan. Ayah adalah tipikal pelaut yang menggantungkan mata pancingnya pada jala nasib. Sama sekali tak mengenal istilah purnama, pasang surut, kompas, dan istilah pelaut lainnya. Bagi ayah, dua buah mata pancing, sebuah jala, sebuah lampu pertomaks dan sebuah perahu cadik, sudah cukup dijadikan seperangkat alat penakluk laut. Selebihnya, tentu saja persoalan nasib. Kalau nasib lagi mujur, ayah akan pulang dengan banyak hasil tangkapan. Tetapi jika nasib lagi apes, ayah akan pulang dengan hasil tangkapan seadanya.
***
Ia adalah lintah. Entah dari arah mana datangnya, lintah itu tiba-tiba sudah mendesis di kamar sebelah. Awalnya, saya mengira suara itu berasal dari TV di ruang tengah yang sedang menayangkan film ular naga yang sama sekali tidak masuk akal bagi saya. Tetapi setelah saya menyimak secara seksama, ternyata bukan. Lagipula, sejak kapan ibu suka dengan film ular naga? Setahu saya, ibu lebih suka dengan film yang memeras air mata dan juga film yang memeras keringat. Tepatnya, memeras keringat di sofa atau di ranjang. Lebih tepat lagi, film birahi seperti yang sering saya intip ketika ibu sedang nonton bersama ayah dan mengira saya sudah tertidur pulas.
Di bawah kekuatan lampu pijar 5 Watt, saya mengintip di sela dinding yang memisahkan kamar saya dan kamar sebelah. Saya tersengat kalajengking ketika dengan mata kepala saya, menangkap tarian lintah yang meliuk sambil mendesis di atas tubuh ibu yang sudah telanjang bulat. Saya mencubit lengan kiri, berusaha meyakinkan diri jika saya tidak sedang bermimpi. Sakit!
Sejak saat itulah, lintah yang saya maksud kerap datang. Bukan saja ketika sedang purnama, tetapi nyaris tiap malam. Dan anehnya, ibu semakin akrab dengan lintah itu.
Tentu saja saya benci. Selain mengganggu kedudukan saya sebagai putri tunggal, saya juga teramat jijik dengan lendir dan aroma tubuh lintah itu. Sangat memuakkan, sampai-sampai saya ingin muntah. Tetapi tidak dengan ibu. Saya saksikan dengan mata kepala sendiri, kalau ibu sering makan sepiring berdua. Bahkan, mereka saling menyuapi. Mereka kadang asyik menonton TV di kamar tengah. Dan jika kebetulan ada saluran TV yang menayangkan lintah lainnya berhasil menyedot darah perempuan muda melalui sela payudara atau selangkangannya, seketika itu pula mereka terkekeh-kekeh, terbahak-bahak sambil menyatu dalam dekapan, menyatu dalam ciuman.
Semakin hari, keakraban ibu dan lintah itu semakin menjadi-jadi. Di mana ada ibu, di situ ada lintah. Ke mana ibu pergi, ke situ lintah ikut. Ke dapur, ke kamar mandi, ke meja makan, ke taman, dan tentu saja kedalam kamar ibu. Pernah suatu kali saya protes kepada ibu. Bagaimana tidak, sejak kehadiran lintah itu, saya merasa kian tersisih. Tak pernah lagi saya dapati nasi goreng dan telur mata sapi tersaji di atas meja ketika saya hendak ke sekolah. Tak pernah lagi saya dengar dongeng Pangeran Pedang biru dan Puteri Sepatu Kaca. Tak pernah lagi saya dengar kidung Istri Seorang Pelaut yang sering ibu nyanyikan di beranda. Tak pernah lagi saya dapati seragam merah-putih tergantung rapi beraroma daun pandan di dalam kamar. Tak pernah lagi saya dapatkan kecupan mesra setiap pergi dan pulang sekolah. Semuanya benar-benar sudah berubah. Tetapi, ibu mengelak dari kenyataan.
" Tidak ada yang berubah, Laila! semuanya baik-baik saja. Kamu hanya terbawa pikiran dan perasaan.”
Akh, ibu! Walaupun payudara saya masih sebesar bola tenis, tetapi saya sudah teramat mengerti apa yang disebut dengan sebuah perubahan. Hati dan perasaan saya sudah setaraf dengan hati dan perasaan perempuan yang jauh lebih dewasa.
Walaupun saya harus mengakui jika pikiran saya masih teramat dangkal, tetapi bukankah perubahan yang saya maksud dalam konteks ini kebanyakan dinilai dengan hati dan perasaan? Tanpa melibatkan pola pikir yang kadang menuntut suatu hal secara logis. Perubahan sikap ibu tidak ada kaitannya sama sekali dengan pikiran, melainkan dengan perasaan. Ya, perasaan seorang putri yang terabaikan. Perasaan kehilangan sentuhan cinta dan kasih sayang.
***
Saya heran, baru kali ini ayah melaut agak lama dan tidak seperti biasanya. Sebulan sudah berlalu, tetapi ayah belum juga pulang. Padahal, teman-teman ayah yang lain, yang pergi melaut bersamaan dengan ayah sudah pada pulang. Bang Juki sudah pulang sejak dua minggu lalu. Minggu berikutnya, giliran Bang Jaka dan si Ucok juga merapat di bahu pantai. Mereka memutuskan pulang meskipun hasil tanggapan mereka hanya sedikit, karena cuaca yang tidak bersahabat di tengah laut. Sejak dua minggu terakhir , hujan memang sesekali turun dan semakin hari semakin deras.
Menurut Bang Juki, ayah menolak pulang ketika cuaca semakin buruk di tengah laut. Ayah bersikeras menerobos ombak, membelah halimun supaya bisa pulang dengan banyak hasil tangkapan. Itulah tabiat ayah. Ia tidak mudah gentar cuma karena mata hujan. Bagi ayah, sebagai warga pesisir, hujan, ombak, terik, halimun, bahkan badai sekalipun adalah kawan. Tidak perlu ditakuti, apalagi dimusuhi. Keluarga nelayan tak bisa hidup jika memelihara rasa takut.
Sudah sekian kali saya mencurahkan rasa prihatin kepada ibu tentang nasib ayah, tetapi ibu tiada peduli. Menurut ibu, ayah pasti baik-baik saja. Tidak usah dipikirkan.
“Ayahmu itu sudah puluhan tahun bersahabat dengan air garam, Laila! Ayahmu sudah kebal dengan gemuruh, dan sudah akrab dengan patuk hiu! Sudahlah! Jangan risaukan dia!”
Ibu mengulangi perkataannya berkali-kali sambil berusaha meyakinkan saya. Dan jika kebetulan si lintah itu juga berada di dalam rumah, ia ikut mengiyakan perkataan ibu sambil tersenyum kecut lalu menyemburkan lendir yang teramat amis. Lintah itu akan pindah dari pangkuan ibu, merayap membelah payudara ibu, lalu naik dibagian kepala. Di atas kepala ibu, lintah itu tak henti meliuk-liuk sambil menyemburkan lendir. Membesar, seukuran ular, lalu mendesis dengan lidah yang bercabang. Lendir lintah itu meleleh ke bibir ibu, dan dengan rakus ibu menjilatinya seperti menjilati sepotong es krim. Ibu ikut mendesis. Ibu ikut meliuk. Ibu menjelma menjadi medusa. Dan saya lari ke luar rumah tak tahan menahan muntah.
***
Sudah lebih dua bulan tetapi ayah belum juga pulang. Hujan semakin lama semakin deras dan runtuh setiap hari. Kilat menjilat-jilat hamparan pasir putih dan batu-batu karang yang menjulang di tepian pantai. Halilintar meretakkan tanah dan menghitamkan pepohonan. Daratan mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dasyat kataklismik.
Seorang anak melangkah tegap semakin merapat ke bibir pantai dan tiada henti menatap gumpalan hitam yang membentuk kapal-kapalan di arah pantai terjauh sambil menggapai-gapaikan tangannya. Ia mungkin butuh kuda laut untuk ke sana, padahal hitam semakin abadi pada matanya. Apakah ia mengira gumpalan hitam itu adalah kapal ayahnya yang semakin menjauh?***
(Mks 2011, sdh terbit di RB)