La
Baco, tetangga saya di Desa Bontorihu Kab.Bulukumba Sulsel, merayakan
hari lebaran 1432 H di penjara. Ia bersama 4 orang lainnya terbukti
melakukan pencurian getah karet milik PT.Lonsum , perusahaan perkebunan
karet yang berada di desa kami.
La
Baco dan warga desa kami pada umumnya hidup sebagai petani. Sialnya,
selama 2 tahun terakhir ini, hasil pertanian di desa kami amburadul.
Tanaman cengkeh, cokelat dan merica sama sekali tidak berbuah. Padi
tidak dapat dipanen karena terserang hama. Begitu juga dengan sayuran
dan tanaman lainnya.
Warga
lain banyak yang terpaksa “banting setir” demi menjaga supaya asap
dapur mereka tetap mengepul. Ada yang memilih menjadi tukang ojek,
pengangkut pasir, pemecah batu, adapula yang memilih menjadi kuli
bangunan. Bahkan, diantara para warga, ada yang memilih minggat dari
desa menuju kota untuk mengundi nasib. Apalagi, lebaran tahun ini
tinggal 1 minggu lagi. Seperti biasa, setiap musim lebaran, pos
pengeluaran ikut merangkak naik seiring dengan melonjaknya harga. Hukum
ekonomi kembali berlaku. Semakin banyak permintaan, harga akan semakin
naik.
Tetapi
bagi warga desa, tidak ada alasan untuk mundur di pasar kelurahan hanya
karena harga ayam dan daging sapi melonjak drastis 3 kali lipat dari
harga biasanya. Mereka akan tetap menyerbu pasar dan pusat pertokoan
sampai di kabupaten kota untuk membeli pakaian baru, tanpa peduli sedang
dikelabui dengan diskon yang menarik setelah harga dinaikkan, sehingga
tetap saja harga pakaian tersebut jauh lebih mahal dari harga biasanya.
Bagi
warga di desa kami, lebaran adalah puncak kemenangan yang harus
dirayakan dengan meriah. Tidak boleh tidak. Entahlah di desa lain,
tetapi di desa kami, perayaan lebaran tidak dapat dipisahkan dengan
pakaian baru, suguhan beraneka macam minuman dan makanan untuk menyambut
para tamu dan kerabat. Jika tidak ingin malu, pas di hari lebaran,
pakailah pakaian baru, suguhilah para tamu dengan aneka macam minuman
dan makanan yang menggugah selera seperti buras, ketupat, opor ayam, sop
lidah sapi, kue mentega sampai syrup yang merknya sama dengan merk
salah satu jenis baterei tahan lama. Jika tidak demikian,
siap-siaplah makan hati atau menanggung malu akibat sorot mata tetamu
yang seolah berkata”Ih…Amit-amit! Hari lebaran kok pakai baju olahraga?”
atau “Duh! Masa 3 toples isinya semuanya biscuit ROMA?” menyedihkan!
***
Begitulah,
lantaran La Baco tidak ingin kehilangan muka di depan para tamu,
lantaran La Baco ingin merayakan lebaran secara meriah, lantaran La Baco
ingin membeli pakaian untuk dirinya, untuk istrinya yang sedang hamil
tua, untuk 2 orang anaknya yang masih kecil-kecil, lantaran La Baco
ingin menjamu para tamu dan kerabatnya dengan suguhan syrup dan aneka
macam masakan yang berbahan pokok daging, ia nekat mencuri getah karet milik perusahaan yang terletak tidak jauh dari sawah garapannya.
La
Baco, bersama 4 orang temannya mengendap-endap pada suatu subuh 3 hari
menjelang lebaran, lalu dengan sigap menari-nari menyadap karet milik
perusahaan. Getah karet itu mereka kumpulkan lalu diangkut untuk di
jual ke-penadah. Hasil penjualan getah karet itu mereka bagi
rata. Sehari kemudian, pada waktu yang sama, La Baco kembali mengulangi
perbuatannya. Hasil penjualan getah karet kemarin rupanya hanya bisa
untuk membeli pakaian baru bagi diri dan anak istrinya. Belum cukup
untuk membeli makanan dan minuman yang akan ia suguhkan kepada para tamu
dan kerabatnya.
La
Baco kembali menari-nari menyadap karet perusahaan. Dengan sangat
hati-hati, getah karet itu ia tampung diember plastik, sebelum
dimasukkan ke dalam jerigen lalu di angkut ke penadah.
Tiap tetes getah karet begitu berharga bagi La Baco saat ini. Ia masih
ingat, kemarin anak dan istrinya amat bahagia dengan pakaian baru yang
ia beli di pasar desa dari hasil penjualan getah karet. Tapi bagi La
Baco, rasanya belum lengkap beberapa potong pakaian mengkilap itu tanpa
aneka macam minuman dan makanan yang kelak akan ia sajikan di hari
lebaran.
Ia
tersenyum sendiri sambil terus menyadap karet perusahaan membayangkan
dirinya melangkah gagah menuju lapangan desa untuk berlebaran bersama
anak istrinya. Sudah terbayang-bayang bagaimana kagumnya para jemaah
lain menyaksikan keluarga La Baco tampil memukau dengan pakaian baru
mengkilap di hari lebaran nanti. Rasa takut ketahuan mencuri getah karet
milik perusahaan telah dikalahkan oleh keinginannya untuk tampil
sempurna. Untuk sementara waktu, dosa sengaja dilupakan. Persetan dengan
ocehan para ustads di atas mimbar setiap malam sebelum tarawih. Bagi La
Baco, kebahagiaan keluarga adalah diatas segala-galanya.
Rasanya
tidak sabar lagi menyaksikan si Juki, tetangganya, atau si Jupri, si
Bogar, si Danu, teman dominonya di pos ronda menelan ludah sambil
menatap lekat pakaian La Baco yang berkilau keemasan dengan motif
warna-warni. La Baco akan berjalan beriringan dengan Zaenab, istrinya
yang sedang hamil tua bak sepasang raja dan ratu diikuti 2 orang
prajurit yang tak lain anak-anak mereka sendiri. Di hari lebaran nanti,
keluarga La Baco akan tampil beda dibandingkan musim lebaran sebelumnya
***
Malam
lebaran akhirnya tiba. Sejauh ini, rencana La Baco tidak menemui
kendala. Zaenab percaya saja ketika La Baco beralasan jika uang untuk
membeli pakaian, syrup, mentega, gula, ayam, daging sapi dan lainnya
adalah hasil jerih payah yang La Baco kumpulkan selama seminggu terakhir
dari hasil mengangkut pasir di bantalan sungai Kalumareng.
Seperti
diceritakan sebelumnya, sejak 2 tahun terakhir ini, banyak warga desa
“banting setir” sebagai pengangkut pasir. Para warga menyemut memadati
bantalan sungai menunggu mobil tongkang dari kota, lalu berlomba mengisi
pasir dan batu kali mobil-mobil tongkang itu untuk pembangunan kota
yang semakin pesat saja. Para warga desa akan mendapatkan bayaran
secukupnya dan sangat tidak sebanding dengan jumlah tetesan keringat
yang mesti keluar.
Malam
lebaran itu, keluarga La Baco tampak riang gembira. Bagaimana tidak,
tinggal menghitung jam, La Baco akan menjelma seorang raja yang membuat
mata warga lain silau dengan kilauan pakaian mereka. Apalagi, sejak sore
tadi, semua perlengkapan lebaran mulai dari baju, mukena, sajadah
sampai kopiah sudah tergantung rapi di dalam kamar. Aroma daun pandang
menyeruak laju, licin dengan setrika arang.
Segala
jenis minuman dan makanan yang menggugah selera siap untuk dihindangkan
esok harinya. Dalam hati La Baco tak henti-hentinya mengucap syukur
karena tahun ini ia bisa berlebaran dengan layak. Anak dan istrinya tak
henti menyanjungnya bak seorang pahlawan yang baru pulang dari medan
perang. Selama menikah, baru kali ini La Baco bisa bernafas lega
menyaksikan anak-istrinya puas dengan usahanya. Ia masih
ingat, betapa tidak enaknya menjadi keluarga melarat selama puluhan
tahun. Betapa tidak enaknya menyaksikan warga desa lain memamerkan
pakaian baru di hari lebaran, sedangkan pakaian anggota keluarganya tak
pernah berubah setiap tahunnya. Ia juga masih ingat, betapa tidak enak
dan malunya ketika para tamu dan kerabat hanya sisuguhi teh, ubi goreng
dan biskuit ROMA. Bahkan, sejak 2 tahun belakangan ini, setiap hari
lebaran tiba, La Baco mengunci rapat pintu rumah lalu mengungsi beberapa
hari di gubuk bambu di pinggir sawah milik Pak RT yang ia garap.
Malam
semakin merangkak ketika pintu rumah La Baco digedor dari luar. 3 orang
berseragam polisi kemudian masuk dan secepat kilat menyergap La Baco.
Suasana riang gembira seketika berubah mencekam.
“Betul, anda bernama La Baco?” Tanya seorang petugas
“A…An…Anu Pak, eh…Iya paaak…” Jawab La Baco gagap
“Ada apa dengan suami saya?” Zaenab tak mau tinggal diam
“Maaf, bu! Suami ibu kami tahan karena telah melakukan pencurian getah karet milik perusahaan.”
Zaenab menatap lekat wajah La Baco. La Baco perlahan menunduk.
“Jadi
ini yang Ayah katakan hasil jerih payah sebagai pengangkut pasir?”,
mata Zaenab berkaca-kaca dan suaranya bergetar, “Sejak kapan Ayah
menjadi seorang pencuri? Apakah saya dan anak-anak pernah meminta
berlebihan kepada Ayah? Saya tak pernah mengeluh dengan keadaan kita,
saya tidak pernah mengeluh dengan nasib keluarga kita yang melarat.
Kenapa Ayah melakukan itu?”
La Baco tak bisa membela diri. Mulutnya terkatup rapat tak mampu bersuara. Ia kemudian di gelandang
ke kantor polisi, dipisahkan secara paksa dengan istrinya yang sedang
hamil tua dan anak-anaknya. Zaenab hanya bisa meraung-raung sambil
mendekap ketiga anaknya, sambil sesekali berteriak serak, “ Tuhan!
Jangan ada lebaran lagi tahun mendatang!”
Malam itu juga, Zaenab membakar semua pakaian hasil curian La Baco. Makanan dan minuman yang sudah siap disaji Zaenab tumpah sambil terus menangis.
“Jangan Bu…Jangan Bu…!” teriak tiga orang anaknya sambil berusaha menahan Zaenab.
“Diaaam…!
Lebih baik kita telanjang dan kelaparan dari pada memakai dan memakan
hasil curian. Saya tidak mau ada barang haram menempel pada tubuh
kalian! Makanan ini sama halnya dengan daging babi.”
***
Keesokan
harinya, ratusan warga desa berbondong-bondong menuju lapangan untuk
melaksanakan shalat Idul Fitri. Mereka bersuka cita menyambut hari
lebaran. Mereka perpesta menyambut hari kemenangan. Pakaian mereka serba
baru dan licin mengkilap. Dari jauh, tampak Zaenab yang sedang hamil
tua tidak mau ketinggalan. Zaenab mengapit 2 orang anaknya dengan
pakaian seadanya. Mukena pemberian Pak RT 3 tahun yang lalu
masih setia bersamanya. Dengan susah payah Zaenab menahan rasa malu
akibat tatapan mencemooh para warga lain. Bahkan, beberapa warga
menyergapnya dengan perkataan yang menyakitkan.
“Lho…Kok suaminya tidak ditemani lebaran di penjara?”
“Pasti pengaruh kau kan, Zaenab? Sehingga suamimu nekat mencuri? Dasar…”
“Keluarga pencuri apa pantas untuk lebaran…?”
Zaenab
tetap melangkah tersenyum tanpa peduli cemoohan warga desa. Tiada
seorang wargapun yang tahu perasaan Zaenab yang merasa dirinyalah yang
paling menang di hari lebaran ini karena sudah berhasil keluar sebagai
pemenang. Pemenang karena sudah membakar pakaian lebaran, pemenang
karena sudah menumpahkan makanan dan minuman yang semuanya diperoleh
dari hasil curian suaminya. Perasaan kemenangan itulah yang membuat
Zaenab menjadi perempuan tangguh mengalahkan rasa malunya.
Setelah
lebaran, Zaenab bersama anak-anaknya mengunjungi La Baco di penjara.
Suasana haru menyelimuti keluarga La Baco di penjara. Dengan barang
bukti dan kesaksian teman La Baco serta si penadah yang ikut tertangkap,
bisa dipastikan jika La Baco bersama komplotannya akan tinggal
lama di dalam penjara menjalani hukuman. Bagi La Baco dan komplotannya,
lebaran tahun ini bukanlah hari kemenangan yang patut dirayakan.
Lebaran tahun ini bagi La Baco tak ubahnya hari pembalasan atas
pencurian yang telah ia lakukan. Maksud hati untuk membahagiakan anggota
keluarga, justru berakhir di penjara dan harus menanggung malu mungkin
seumur hidup.
“Maafkan
Ayah, Zaenab! Maafkan Ayah, anak-anak! Ayah sudah keliru memaknai hari
kemenangan. Ayah justru berada difihak yang kalah sekarang. Ayah tidak
berguna…!” kata La Baco sambil meratap mendekap Zaenab dan anak-anaknya.
“Sudahlah, semoga ini menjadi pelajaran bagi Ayah! Apapun alasannya,
mencuri adalah perbuatan dosa. Jangan pernah menghidupi kami dengan
sesuatu yang didapat secara haram.” Jawab Zaenab sebelum melangkah
pulang dengan perasaan sedih yang membuncah. Dalam hati Zaenab berkata,
“Tuhan! Jangan ada lebaran lagi tahun mendatang!” adakah diantara kita
yang berharap sama dengan Zaenab dan apakah diantara kita benar-benar
merasa menang di hari lebaran tahun ini?***