Sabtu, 03 September 2011

Tuhan, Jangan Ada Lebaran Lagi Tahun Mendatang!



La Baco, tetangga saya di Desa Bontorihu Kab.Bulukumba Sulsel, merayakan hari lebaran 1432 H di penjara. Ia bersama 4 orang lainnya terbukti melakukan pencurian getah karet milik PT.Lonsum , perusahaan perkebunan karet yang berada di desa kami.

La Baco dan warga desa kami pada umumnya hidup sebagai petani. Sialnya, selama 2 tahun terakhir ini, hasil pertanian di desa kami amburadul. Tanaman cengkeh, cokelat dan merica sama sekali tidak berbuah. Padi tidak dapat dipanen karena terserang hama. Begitu juga dengan sayuran dan tanaman lainnya.

Warga lain banyak yang terpaksa “banting setir” demi menjaga supaya asap dapur mereka tetap mengepul. Ada yang memilih menjadi tukang ojek, pengangkut pasir, pemecah batu, adapula yang memilih menjadi kuli bangunan. Bahkan, diantara para warga, ada yang memilih minggat dari desa menuju kota untuk mengundi nasib. Apalagi, lebaran tahun ini tinggal 1 minggu lagi. Seperti biasa, setiap musim lebaran, pos pengeluaran ikut merangkak naik seiring dengan melonjaknya harga. Hukum ekonomi kembali berlaku. Semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik.

Tetapi bagi warga desa, tidak ada alasan untuk mundur di pasar kelurahan hanya karena harga ayam dan daging sapi melonjak drastis 3 kali lipat dari harga biasanya. Mereka akan tetap menyerbu pasar dan pusat pertokoan sampai di kabupaten kota untuk membeli pakaian baru, tanpa peduli sedang dikelabui dengan diskon yang menarik setelah harga dinaikkan, sehingga tetap saja harga pakaian tersebut jauh lebih mahal dari harga biasanya.

Bagi warga di desa kami, lebaran adalah puncak kemenangan yang harus dirayakan dengan meriah. Tidak boleh tidak. Entahlah di desa lain, tetapi di desa kami, perayaan lebaran tidak dapat dipisahkan dengan pakaian baru, suguhan beraneka macam minuman dan makanan untuk menyambut para tamu dan kerabat. Jika tidak ingin malu, pas di hari lebaran, pakailah pakaian baru, suguhilah para tamu dengan aneka macam minuman dan makanan yang menggugah selera seperti buras, ketupat, opor ayam, sop lidah sapi, kue mentega sampai syrup yang merknya sama dengan merk salah satu jenis baterei tahan lama. Jika tidak demikian, siap-siaplah makan hati atau menanggung malu akibat sorot mata tetamu yang seolah berkata”Ih…Amit-amit! Hari lebaran kok pakai baju olahraga?” atau “Duh! Masa 3 toples isinya semuanya biscuit ROMA?” menyedihkan!

***

Begitulah, lantaran La Baco tidak ingin kehilangan muka di depan para tamu, lantaran La Baco ingin merayakan lebaran secara meriah, lantaran La Baco ingin membeli pakaian untuk dirinya, untuk istrinya yang sedang hamil tua, untuk 2 orang anaknya yang masih kecil-kecil, lantaran La Baco ingin menjamu para tamu dan kerabatnya dengan suguhan syrup dan aneka macam masakan yang berbahan pokok daging, ia nekat mencuri getah karet milik perusahaan yang terletak tidak jauh dari sawah garapannya. 

La Baco, bersama 4 orang temannya mengendap-endap pada suatu subuh 3 hari menjelang lebaran, lalu dengan sigap menari-nari menyadap karet milik perusahaan. Getah karet itu mereka kumpulkan lalu diangkut untuk di jual  ke-penadah. Hasil penjualan getah karet itu mereka bagi rata. Sehari kemudian, pada waktu yang sama, La Baco kembali mengulangi perbuatannya. Hasil penjualan getah karet kemarin rupanya hanya bisa untuk membeli pakaian baru bagi diri dan anak istrinya. Belum cukup untuk membeli makanan dan minuman yang akan ia suguhkan kepada para tamu dan kerabatnya.

La Baco kembali menari-nari menyadap karet perusahaan. Dengan sangat hati-hati, getah karet itu ia tampung diember plastik, sebelum dimasukkan ke dalam jerigen lalu di angkut ke penadah. Tiap tetes getah karet begitu berharga bagi La Baco saat ini. Ia masih ingat, kemarin anak dan istrinya amat bahagia dengan pakaian baru yang ia beli di pasar desa dari hasil penjualan getah karet. Tapi bagi La Baco, rasanya belum lengkap beberapa potong pakaian mengkilap itu tanpa aneka macam minuman dan makanan yang kelak akan ia sajikan di hari lebaran.

Ia tersenyum sendiri sambil terus menyadap karet perusahaan membayangkan dirinya melangkah gagah menuju lapangan desa untuk berlebaran bersama anak istrinya. Sudah terbayang-bayang bagaimana kagumnya para jemaah lain menyaksikan keluarga La Baco tampil memukau dengan pakaian baru mengkilap di hari lebaran nanti. Rasa takut ketahuan mencuri getah karet milik perusahaan telah dikalahkan oleh keinginannya untuk tampil sempurna. Untuk sementara waktu, dosa sengaja dilupakan. Persetan dengan ocehan para ustads di atas mimbar setiap malam sebelum tarawih. Bagi La Baco, kebahagiaan keluarga adalah diatas segala-galanya.

Rasanya tidak sabar lagi menyaksikan si Juki, tetangganya, atau si Jupri, si Bogar, si Danu, teman dominonya di pos ronda menelan ludah sambil menatap lekat pakaian La Baco yang berkilau keemasan dengan motif warna-warni. La Baco akan berjalan beriringan dengan Zaenab, istrinya yang sedang hamil tua bak sepasang raja dan ratu diikuti 2 orang prajurit yang tak lain anak-anak mereka sendiri. Di hari lebaran nanti, keluarga La Baco akan tampil beda dibandingkan musim lebaran sebelumnya

***

Malam lebaran akhirnya tiba. Sejauh ini, rencana La Baco tidak menemui kendala. Zaenab percaya saja ketika La Baco beralasan jika uang untuk membeli pakaian, syrup, mentega, gula, ayam, daging sapi dan lainnya adalah hasil jerih payah yang La Baco kumpulkan selama seminggu terakhir dari hasil mengangkut pasir di bantalan sungai Kalumareng. 

Seperti diceritakan sebelumnya, sejak 2 tahun terakhir ini, banyak warga desa “banting setir” sebagai pengangkut pasir. Para warga menyemut memadati bantalan sungai menunggu mobil tongkang dari kota, lalu berlomba mengisi pasir dan batu kali mobil-mobil tongkang itu untuk pembangunan kota yang semakin pesat saja. Para warga desa akan mendapatkan bayaran secukupnya dan sangat tidak sebanding dengan jumlah tetesan keringat yang mesti keluar.

Malam lebaran itu, keluarga La Baco tampak riang gembira. Bagaimana tidak, tinggal menghitung jam, La Baco akan menjelma seorang raja yang membuat mata warga lain silau dengan kilauan pakaian mereka. Apalagi, sejak sore tadi, semua perlengkapan lebaran mulai dari baju, mukena, sajadah sampai kopiah sudah tergantung rapi di dalam kamar. Aroma daun pandang menyeruak laju, licin dengan setrika arang.

Segala jenis minuman dan makanan yang menggugah selera siap untuk dihindangkan esok harinya. Dalam hati La Baco tak henti-hentinya mengucap syukur karena tahun ini ia bisa berlebaran dengan layak. Anak dan istrinya tak henti menyanjungnya bak seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Selama menikah, baru kali ini La Baco bisa bernafas lega menyaksikan anak-istrinya puas dengan usahanya. Ia masih ingat, betapa tidak enaknya menjadi keluarga melarat selama puluhan tahun. Betapa tidak enaknya menyaksikan warga desa lain memamerkan pakaian baru di hari lebaran, sedangkan pakaian anggota keluarganya tak pernah berubah setiap tahunnya. Ia juga masih ingat, betapa tidak enak dan malunya ketika para tamu dan kerabat hanya sisuguhi teh, ubi goreng dan biskuit ROMA. Bahkan, sejak 2 tahun belakangan ini, setiap hari lebaran tiba, La Baco mengunci rapat pintu rumah lalu mengungsi beberapa hari di gubuk bambu di pinggir sawah milik Pak RT yang ia garap.

Malam semakin merangkak ketika pintu rumah La Baco digedor dari luar. 3 orang berseragam polisi kemudian masuk dan secepat kilat menyergap La Baco. Suasana riang gembira seketika berubah mencekam.

“Betul, anda bernama La Baco?” Tanya seorang petugas
“A…An…Anu Pak, eh…Iya paaak…” Jawab La Baco gagap
“Ada apa dengan suami saya?” Zaenab tak mau tinggal diam
“Maaf, bu! Suami ibu kami tahan karena telah melakukan pencurian getah karet milik perusahaan.”
Zaenab menatap lekat wajah La Baco. La Baco perlahan menunduk.
“Jadi ini yang Ayah katakan hasil jerih payah sebagai pengangkut pasir?”, mata Zaenab berkaca-kaca dan suaranya bergetar, “Sejak kapan Ayah menjadi seorang pencuri? Apakah saya dan anak-anak pernah meminta berlebihan kepada Ayah? Saya tak pernah mengeluh dengan keadaan kita, saya tidak pernah mengeluh dengan nasib keluarga kita yang melarat. Kenapa Ayah melakukan itu?”

La Baco tak bisa membela diri. Mulutnya terkatup rapat tak mampu bersuara. Ia kemudian di gelandang ke kantor polisi, dipisahkan secara paksa dengan istrinya yang sedang hamil tua dan anak-anaknya. Zaenab hanya bisa meraung-raung sambil mendekap ketiga anaknya, sambil sesekali berteriak serak, “ Tuhan! Jangan ada lebaran lagi tahun mendatang!”
Malam itu juga, Zaenab membakar semua pakaian hasil curian La Baco. Makanan dan minuman yang sudah siap disaji Zaenab tumpah sambil terus menangis. 

“Jangan Bu…Jangan Bu…!” teriak tiga orang anaknya sambil berusaha menahan Zaenab.
“Diaaam…! Lebih baik kita telanjang dan kelaparan dari pada memakai dan memakan hasil curian. Saya tidak mau ada barang haram menempel pada tubuh kalian! Makanan ini sama halnya dengan daging babi.”

***

Keesokan harinya, ratusan warga desa berbondong-bondong menuju lapangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Mereka bersuka cita menyambut hari lebaran. Mereka perpesta menyambut hari kemenangan. Pakaian mereka serba baru dan licin mengkilap. Dari jauh, tampak Zaenab yang sedang hamil tua tidak mau ketinggalan. Zaenab mengapit 2 orang anaknya dengan pakaian seadanya. Mukena pemberian Pak RT 3 tahun yang lalu masih setia bersamanya. Dengan susah payah Zaenab menahan rasa malu akibat tatapan mencemooh para warga lain. Bahkan, beberapa warga menyergapnya dengan perkataan yang menyakitkan.

“Lho…Kok suaminya tidak ditemani lebaran di penjara?”
“Pasti pengaruh kau kan, Zaenab? Sehingga suamimu nekat mencuri? Dasar…”
“Keluarga pencuri apa pantas untuk lebaran…?”

Zaenab tetap melangkah tersenyum tanpa peduli cemoohan warga desa. Tiada seorang wargapun yang tahu perasaan Zaenab yang merasa dirinyalah yang paling menang di hari lebaran ini karena sudah berhasil keluar sebagai pemenang. Pemenang karena sudah membakar pakaian lebaran, pemenang karena sudah menumpahkan makanan dan minuman yang semuanya diperoleh dari hasil curian suaminya. Perasaan kemenangan itulah yang membuat Zaenab menjadi perempuan tangguh mengalahkan rasa malunya. 

Setelah lebaran, Zaenab bersama anak-anaknya mengunjungi La Baco di penjara. Suasana haru menyelimuti keluarga La Baco di penjara. Dengan barang bukti dan kesaksian teman La Baco serta si penadah yang ikut tertangkap, bisa dipastikan jika La Baco bersama komplotannya akan tinggal lama di dalam penjara menjalani hukuman. Bagi La Baco dan komplotannya, lebaran tahun ini bukanlah hari kemenangan yang patut dirayakan. Lebaran tahun ini bagi La Baco tak ubahnya hari pembalasan atas pencurian yang telah ia lakukan. Maksud hati untuk membahagiakan anggota keluarga, justru berakhir di penjara dan harus menanggung malu mungkin seumur hidup. 

“Maafkan Ayah, Zaenab! Maafkan Ayah, anak-anak! Ayah sudah keliru memaknai hari kemenangan. Ayah justru berada difihak yang kalah sekarang. Ayah tidak berguna…!” kata La Baco sambil meratap mendekap Zaenab dan anak-anaknya. “Sudahlah, semoga ini menjadi pelajaran bagi Ayah! Apapun alasannya, mencuri adalah perbuatan dosa. Jangan pernah menghidupi kami dengan sesuatu yang didapat secara haram.” Jawab Zaenab sebelum melangkah pulang dengan perasaan sedih yang membuncah. Dalam hati Zaenab berkata, “Tuhan! Jangan ada lebaran lagi tahun mendatang!” adakah diantara kita yang berharap sama dengan Zaenab dan apakah diantara kita benar-benar merasa menang di hari lebaran tahun ini?***